Kamis, 04 Maret 2010

Hukum Sutrah (Batas Sholat)

1. Hukum Sutrah a. Apabila kita sholat dirumah/ diruangan kita disarankan untuk sholat didekat dinding atau tiang b. Jika sholat di tempt lapang disarankan untuk memasang Sutrah “Apabila salah seorang kamu bersholat, maka hendaklah dia bershalat dengan sutrah dan hendaklah ia berdiri dekt kepadanya (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) 2. Bagaimana Sutrah itu Sudah dipandang ada Sutrah dipandang telah ada jika kita menancapkan sesuatu di hadapan kita. “Hendaklah seseorang meletakkan sutrah di kala shalat. Walaupun sebiji anak panah” (HR Hakim) 3. Sutrah Imam dipandang sebagai Sutrah Makmum “Kami singgah beserta Rasulullah di Tsaniyyah ‘Adzakir (sebuah pendakian dekat Makkah) lalu masuklah waktu Shalat. Lalu nabi shalat dengan menghadap ke sebu dinding yang terletak di hadapannya. Beliau menjadikannya sutrah. Kami berdiri di belakangnya. Sejurus kemudian datanglah seekora anak kambing berlalu di hadapannya. Maka terus menerus nabi menolaknya, hingga beliau mendekat ke dinding dan berlalulah binatang itu di belakangnya” (Ahmad dan abu Daud) 4. Disukai kita berdiri dekat Sutrah a. haram berlalu di depan orang sholat (yang masuk dalam batas sutrah) b. kita menolak orang yg berjalan di dalam batas sutrah c. Seseorang yang berlalu dihadapan kita ketika sholat tidak membatalkan sholat

Bagaimana Menafsirkan Al-Quran?

"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah, tentu mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82) Dalam Al-Quran tidak ada satu pertentangan pun. Andaikata secara selintas tampak ada pertentangan, maka pertentangan itu akan sirna dengan merenungkan Al-Quran itu sendiri. Seandainya dalam menjelaskan maksud-maksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang lain, maka kedudukannya sebagai hujah tidak akan sempurna. Karena andaikata seorang kafir menemukan suatu pertentang¬an dalam Al-Quran yang tidak dapat dihilangkan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain Al-Quran itu sendiri, maka ia tidak akan dapat menerima dihilangkannya pertentangan itu melalui jalan lain, dengan menggunakan hadits, umpamanya. Hal itu dikarenakan orang kafir tidak mempercayai kebenaran Nabi dan tidak mem¬percayai kenabian serta kesuciannya, sehingga ia akan menolak pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan sia-sia bila Nabi men¬jelaskan untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan dalam AI-Quran tanpa menggunakan bukti verbal dari Al-Quran itu sen¬diri kepada orang yang tidak mempercayai kenabian dan kesuci¬annya. Dan ayat di atas memang ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak mau menerima sabda-sabda beliau jika tidak ada bukti kuat dari Al-Quran sendiri. Kita pun mengetahui bahwa Al-Quran sen¬diri mengabsahkan sabda dan penafsiran Nabi. Begitu pula, Nabi mengabsahkan sabda dan penafsiran Ahlul Baitnya. Dari dua pernyataan ini dapat kami simpulkan bahwa di dalam AI-Quran ada sebagian ayat yang dapat dijelaskan dengan ayat¬ayat yang lain, dan kedudukan Rasulullah serta keluarga beliau berkenaan dengan Al-Quran adalah sebagai guru dan pembimbing suci yang tidak akan ada kekeliruan atau kesalahan dalam ajaran¬ajaran dan petunjuk-petunjuk mereka. Oleh karena itu, penafsiran mereka adalah sesuai dengan penafsiran yang dibuat dari memadu¬kan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Penafsiran yang realistis terhadap Al-Quran merupakan penafsiran yang bersumber dari perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran dan pemaduan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Lebih jelasnya, dalam menafsirkan Al-Quran, kita dapat menempuh salah satu dari tiga jalan berikut: 1. Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah atau non¬ilmiah yang kita miliki. 2. Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Imam-imam suci. 3. Menafsirkan suatu ayat dengan jalan merenungkan dan meng¬kaji ayat itu dan ayat lain yang berkaitan, dan dengan bantuan hadits-hadits. Nabi bersabda: "Sesungguhnya sebagian ayat membenarkan sebagian yang lain. " Ali berkata: "Al-Quran, sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain, dan sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. " "Barangsiapa menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. " Jalan pertama tidak boleh diikuti. Sebab, pada hakikatnya ia merupakan penafsiran dengan menggunakan pendapat pribadi. Adapun jalan kedua adalah jalan yang digunakan oleh para ulama tafsir pada periode awal, dan telah dipraktekkan selama beberapa abad. Jalan itu adalah jalan yang dipraktekkan sampai sekarang oleh para penulis hadits dari kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah. Jalan ini terbatas dan tidak dapat memenuhi ketidakterbatasan kebutuhan, karena lebih dari enam ribu ayat dalam Al-Quran menghadapi beratus-ratus ribu pertanyaan ilmiah ataupun non¬ilmiah. Dari manakah kita menemukan jawaban untuk pertanyaan¬pertanyaan ini, dan bagaimana menghindarinya? Apakah kita akan mencarinya dalam riwayat-riwayat dan hadits-hadits? Dalam hal ini, jumlah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah kurang dari dua ratus lima puluh hadits. Dan banyak dari hadits¬hadits ini lemah sanad-nya dan sebagiannya tertolak (munkar). Dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kalangan Syi'ah mencapai beberapa ribu hadits. Di antaranya ada sejumlah besar hadits yang andal (shahih). Meskipun demikian, hadits-hadits sebanyak itu tidak mencukupi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terbatas tentang ayat-ayat Al-Quran. Di samping itu, ada ayat-ayat yang tidak ada satu hadits pun yang menjelaskan ayat-ayat itu, baik yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah. Menghadapi masalah ini, kita bisa merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan ayat yang ingin kita tafsirkan. Hal ini tidak dilarang. Mungkin kita menolak untuk membahas ayat itu dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan ilmiah yang menuntut kita untuk melakukan pembahasan. Jika demikian, apakah yang akan kita perbuat dengan ayat-ayat berikut yang menganjurkan pengkajian, perenungan dan pembahasan? "Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelas¬kan segala sesuatu." (QS 16:89) "Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran?" (QS 4:82) , "Sebuah kitab yang penuh berkah yang telah Kami turunkan kepadamu agar mereka merenungkan ayat-ayatnya, dan orang¬orang yang berakal menjadi sadar." (QS 38:39) "Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah telah datang kepada mereka sesuatu yang tidak datang kepada nenek moyang mereka?" (QS 23:68) Dalam beberapa hadits sahih kita dianjurkan untuk kembali kepada Al¬-Quran ketika menghadapi masalah. Apakah yang harus kita per¬buat dengan hadits-hadits ini? Hadits-hadits Nabi, pada umumnya, dan khususnya hadits-hadits mutawatir Nabi dan para Imam Ahlul Bait, telah menetapkan suatu kewajiban untuk merujukkan hadits-hadits kepada Al-Quran. Yang sesuai dengan AI-Quran, dapat diikuti dan yang tidak sesuai, dibuang. Kandungan hadits-hadits ini dipandang benar jika maksud dan pengertian (tafsir) ayat itu jelas. Apabila untuk mengetahui pengertian suatu ayat, kita harus merujuk kepada hadits, maka tidak ada ruang lagi untuk merujukkan hadits kepada Al-Quran. Hadits-hadits yang telah kami paparkan ini merupakan bukti paling kuat bahwa ayat-ayat Al-Quran itu seperti kata-kata berarti yang digunakan dalam pembicaraan. Ayat-ayat itu sendiri sudah me¬rupakan hujah jelas yang tidak memerlukan hadits-hadits untuk menerangkannya. Jadi menjadi jelas bahwa kewajiban seorang mufasir adalah memperhatikan hadits-hadits Nabi dan para Imam Ahlul Bait dalam menafsirkan Al-Quran, dan mengetahui metode mereka. Kemudian menafsirkan Al-Quran dengan metode Al-Quran dan Sunnah, mengambil hadits-hadits yang sesuai dengan Al-Quran, dan membuang yang tidak sesuai. Referensi: Mengungkap Rahasia Al-Quran Karya Allamah MH Thabathaba’i

PRIORITAS FARDHU ATAS SUNNAH DAN NAWAFIL

Ada perkara yang diperintahkan dalam bentuk sunnah dan mustahab. Ada perkara yang diperintahkan dalam bentuk fardhu dan kewajiban. Dan ada pula perkara yang berada di antara kedua hal itu, yakni perkara yang berada di atas mustahab, tetapi dia berada di bawah fardhu; yang oleh para fuqaha disebut dengan wajib. Berkaitan dengan fiqh prioritas ini, kita harus mendahulukan hal yang paling wajib atas hal yang wajib, mendahulukan hal yang wajib atas mustahab, dan kita perlu menganggap mudah hal-hal yang sunnah dan mustahab serta harus mengambil berat terhadap hal-hal yang fardhu dan wajib.

Kita mesti menekankan lebih banyak terhadap perkara-perkara fardhu yang mendasar daripada perkara yang lainnya; khususnya shalat dan zakat yang merupakan dua macam fardhu yang sangat mendasar, yang selalu digandengkan penyebutannya di dalam al-Qur'an pada dua puluh delapan tempat; dan juga banyak sekali hadits yang menyebutkan kedua hal ini. Antara lain: Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a. bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Islam itu dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa di hari Ramadhan." (Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan)

Diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah r.a. berkata, "Ada seorang lelaki penduduk Najed yang datang kepada Rasulullah saw dengan kepala terbuka. Kami mendengar suara dengungannya tetapi tidak dapat menangkap apa yang dia katakan. Sehingga kami mendekatkan diri kepada Rasulullah saw. Ternyata dia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah saw bersabda, "Shalat lima waktu sehari semalam." Dia bertanya lagi, "Apakah ada kewajiban lain atas diriku selain itu?" Beliau menjawab, "Tidak, kecuali bila engkau hendak melaksanakan yang sunnah." Kemudian Rasulullah saw menyebutkan zakat kepadanya, lalu dia bertanya lagi: "Apakah ada kewajiban lain atas diriku selain itu?" Beliau menjawab, "Tidak, kecuali bila engkau hendak melaksanakan yang sunnah." Kemudian lelaki itu kembali lagi ke tempat asalnya sambil berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menambah dan menguranginya." Maka Rasulullah saw bersabda, "Dia akan mendapatkan keberuntungan kalau yang dia katakan itu benar."" (Muttafaq 'Alaih) (al-Lu'lu' wal-Marjan, hadits 6)

Diriwayatkan dari Ibn Abbas r. a. berkata bahwasanya Nabi saw mengutus Mu'adz r.a. untuk pergi ke Yaman, beliau saw bersabda kepadanya, "Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah. Apabila mereka mematuhi dirimu dalam perkara ini, maka beritakanlah kepada mereka bahwasanya Allah telah memfardhukan shalat lima waktu sehari semalam. Dan apabila mereka mentaati dirimu dalam perkara ini, maka beritakanlah kepada mereka bahwa Allah SWT telah memfardhukan kepada mereka untuk membayar zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka." (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Ibn Umar r. a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku telah diperintahkan untuk memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat. Jika mereka telah melaksanakan perkara-perkara itu, berarti mereka telah melindungi darah dan harta benda mereka dari diriku. Dan Allah SWT akan menghitung apa yang telah mereka lakukan." (Muttafaq 'Alaih) Diriwayatkan dan Abu Hurairah r.a. berkata, "Ketika Rasulullah saw wafat dan Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, ada di antara orang-orang Arab yang menjadi kafir kembali, maka Umar r.a. berkata, 'Bagaimanakah kalau kita memerangi orang-orang itu karena Rasulullah saw telah bersabda, 'Aku telah diperintakkan untuk memerangi orang-orang sehingga mereka mengucapkan bahwa tiada tuhan selain Allah. Maka barangsiapa yang mengatakannya maka dia telah melindungi harta dan jiwanya dari diriku, dan Allah akan memperhitungian segala amal perbuatannya.'?' Maka Abu Bakar menjawab 'Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Karena sesungguhnya zakat adalah hak harta benda. Demi Allah, kalau mereka enggan memberikan seekor unta yang dahulu pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw maka aku akan memerangi mereka, karena keengganan itu.' Umar berkata, 'Demi Allah, itu tidak lain kecuali bahwa aku telah melihat Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk melakukan peperangan itu, dan aku betul-betul mengetahuinya.'" (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Abu Ayyub r.a., ia berkata bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi saw kemudian dia berkata kepada Nabi saw, "Beritahukanlah kepadaku amalan yang dapat membuatku masuk surga." Nabi saw bersabda, "Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu selain Dia, dirikan shalat, bayar zakat dan jalinlah silaturahim." (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa ada seorang lelaki Arab Badui datang kepada Nabi saw sambil berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku amalan yang apabila aku melakukannya, aku akan masuk surga." Rasulullah saw menjawab, "Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dirikan shalat fardhu, bayarlah zakat fardhu, dan berpuasalah pada bulan Ramadhan." Kemudian lelaki itu berkata, "Demi yang diriku berada di tangan-Nya, aku tidak akan menambah atau menguranginya. "Ketika orang itu kembali lagi ke tempat asalnya, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin melihat lelaki penghuni surga, maka hendaklah dia melihat orang ini." (Muttafaq 'Alaih) Hadits ini dan hadits Thalhah di atas menunjukkan bahwa perkara-perkara fardhu ini adalah dasar amalan agama.

Barangsiapa mengerjakannya dengan sempurna, tidak menguranginya sedikitpun, berarti dia telah membuka pintu surga, walaupun dia tidak mengerjakan amalan-amalan sunnah di luar fardhu itu. Ajaran yang diterapkan oleh Nabi saw ketika beliau mengajar para sahabatnya ialah memusatkan perhatian terhadap rukun dan dasar, dan bukan menekankan perhatian terhadap perkara-perkara kecil, parsial, yang tidak akan ada habisnya.
Referensi: Fiqh Prioritas karya Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Menyemir Rambut dengan Warna Hitam dan Memakai Sanggul

Tentang masalah mengecat rambut dengan warna hitam, ada kita dapati bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang Yahudi dan Nashara tidak menyemir rambut, maka kamu berbedalah dengan mereka." (HR Bukhari) "Sesungguhnya sebaik-baik alat yang kamu pergunakan untuk mengubah warna ubanmu adalah hinna' dan katam." (HR at-Tirmidzi dan Ashabus Sunnan) Hinna' adalah pewarna rambut berwarna merah sedangkan katam adalah pohon Yaman yang mengeluarkan zat pewarna hitam kemerah-merahan. Namun demikian, untuk tujuan tertentu dibolehkan untuk mengecat rambut putih dengan warna hitam, meski para ulama berbeda pendapat dalam rinciannya: a. Ulama Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma' yang menyatakan kebolehannya. b. Abu yusuf dari ulama Hanafiyah berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena akan lebih menarik untuk istri-istri kalian dan lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian." (Tuhfatul Ahwadzi 5/436) c. Ulama madzhab As-Syafi'i berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam diharamkan kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW, "Akan ada pada akhir zaman orang-orang yang akan mengecat rambut mereka dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga." (HR Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim) Sedangkan tentang memakai rambut palsu atau menyambung rambut, ada keterangan hadits dari Rasulullah SAW sebagai berikut: Dari riwayat Said bin Musayyab, salah seorang sahabat Nabi saw. ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau berpidato, tiba-tiba mengeluarkan segenggam rambut dan mengatakan, "Inilah rambut yang dinamakan Nabi SAW Azzur yang artinya atwashilah (penyambung), yang dipakai oleh wanita untuk menyambung rambutnya, hal itulah yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dan tentu hal itu adalah perbuatan orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama, apakah kalian tidak melarang hal itu? Padahal aku telah mendengar sabda Nabi saw. yang artinya, 'Sesungguhnya terbinasanya orang-orang Israel itu karena para wanitanya memakai itu (rambut palsu) terus-menerus'." (HR Bukhari). Semua hadits itu secara zahir memang berlaku bagi orang yang melakukannya langsung. Namun bagaimana dengan orang yang ikut memberikan bantuan atas suksesnya suatu perbuatan, seperti menyemirkan atau memberikan pinjaman sisir atau tindakan lainnya? Jawabannya sebenarnya mudah saja, yaitu pada hakikatnya hukumnya secara otomatis akan ikut juga. Berapa banyak kasus di mana sebuah kemungkaran tidak terjadi kecuali dengan adanya orang-orang yang ikut andil menyukseskannya. Tidak hanya dilakukan sendirian saja. Misalnya dalam tindak kriminal, dalam kaca mata hukum, siapa pun yang terlibat pasti harus dihukumnya juga. Tinggal jenis hukumannya akan sangat tergantung seberapa besar andil seseorang di dalam tindakan jahat itu. Salah satu contoh kasus ini adalah dalam masalah riba yang diharamkan. Ternyata, di dalam hadits disebutkan bahwa yang masuk neraka bukan hanya yang meminjam dan yang meminjamkan, tetapi yang mencatat transaksi itu serta saksi-saksinya juga harus ikut masuk neraka juga. Dari Jabir berkata, "Rasulullah SAW melaknat pemakan riba', yang memberi makan, pencatatnya dan kedua orang saksinya." (HR Muslim) Kecuali bila seseorang dipaksa untuk terlibat, sementara hatinya tetap mengingkarinya, maka dalam hal ini seseorang tidak bisa dijatuhkan dosa atas sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Demikian juga, ketika seseorang hanya diperalat tanpa tahu apa yang terjadi. Maka dia tidak boleh dihukum atas hal yang dia tidak ketahui. Kalau teman anda pinjam sisir, wajar bila anda beri pinjam. Bila anda tidak tahu untuk apa sisir itu, bila dia melakukan dosa dengan sisir itu di luar pengetahuan anda, anda tentu tidak berdosa hanya karena hal yang tidak terkait dengan anda. Tapi kalau anda tahu bahwa meminjamkan sisir itu untuk menyukseskan kemungkaran, wajar bila anda juga harus ikut bertanggung-jawab bila ada apa-apa di hari akhir kelak. Diolah dari sebuah sumber Anonymous

Tidur yang Dibenci, tidak mendapat rahmat, dan rejeki tersendat

Selepas menunaikan sholat shubuh merupakan waktu yang sangat untuk bersantai sejenak. Sehingga tidak mengherankan waktu ini sering digunakan oleh banyak orang untuk tidur barang sebentar. Memang hawa kantuk yang luar biasa akan semakin mempermudah dan mempernikmat siapapun juga untuk tidur.Akan tetapi berhati-hatilah saudaraku, kalau engkau memiliki kebiasaan seperti ini. Yaitu tidur setelah Shubuh. Ibnu Qayyim AL Jauziah mengatakan,”Diantara tidur yang dibenci adalah tidur diantara sholat Shubuh dengan terbit matahari” karena orang yang tidur pada saat itu adalah orang yang menghindari mendapatkan berkah dari Allah. Selain itu Abudllah Abbas juga mengatakan, bahwa tidur ada tiga macam: 1. Tidur yang menimbulkan kebingungan dan kemalasan, yaitu tidur selepas Shubuh 2. Tidur karena tuntutan fitrah 3. Tidur yang menimbulkan kebodohan, tidur pada waktu Isya. Waktu shubuh adalah waktu yang penuh berkah karena nabi SAW berdoa untuk kita,”Ya Allah berkahilah untuk ummatku di pagi hari mereka.

Urut-urutan Turunnya, Kronologi dan Tersebarnya Surat-surat Al-Quran

Tidak diragukan lagi bahwa surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran tidak dihimpun dan dicatat menurut kronologi (urutan) turunnya kepada Rasulullah s.a.w. Ulama-ulama dahulu, khususnya ulama Ahlus Sunnah, dalam mengurutkan surat-surat dan ayat-ayat Al¬Quran berlandaskan pada atsar (perkataan atau perbuatan sahabat atau tabi'in). Di antara atsar - atsar yang dikemukakan berkenaan dengan masalah ini adalah sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Dia berkata: "Apabila pembukaan suatu surat di¬turunkan di Makkah, maka pembukaan itu ditulis di kota ini. Kemudian Allah menambahinya.

Adapun surat-surat yang pertama kali diturunkan (secara berurutan) adalah sebagai berikut:
1. Al-'Alaq 30. Al-Qiyamah 59. Al-Mukmin 2. Al-Qalam 31. Al-Humazah 60. As-Sajdah 3. Al-Muzammil 32. Al-Mursalat 61. Asy-Syura 4. Al-Muddatstsir 33. Qaf 62. Az-Zuhruf 5. Al-Masad 34. Al-Balad 63. Ad-Dukhan 6. At-Takwir 35. Ath-Thariq 64. Al-Jatsiah 7. Al-A'la 36. Al-Qamar 65. Al-Ahqaf 8. Al-Lail 37. Shad 66. Adz-Dzariyat 9. Al-Fajr 38. Al-A'raf 67. Al-Ghasyiah 10. Adh-Dhuha 39. Al-Jin 68. Al-Kahfi 11. Asy-Syarh 40. Yasin 69. An-Nahl 12. Al-'Asr 41. Al-Furqan 70. Nuh 13. Al-'Adiyat 42. Al-Malaikah 71. Ibrahim 14. Al-Kautsar 43. Maryam 72. Al-Anbiya' 15. At-Takatsur 44. Thaha 73. Al-Mukminun 16. Al-Ma'un 45. Al-Waqi'ah 74. Fusshilat 17. Al-Kafirun 46. Asy-Syu'ara 75. Ath-Thur 18. Al-Fil 47. An-Naml 76. Al-Mulk 19. Al-Falak 48. Al-Qasas 77. Al-Haqah 20. An-Nas 49. Bani Israil 78. Al-Ma'arij 21. Al-Ikhlas 50. Yunus 79. An-Naba' 22. An-Najm 51. Hud 80. An-Nazi'at 23. 'Abasa 52. Yusuf 81. Al-Infithar 24. Al-Qadr 53. Al-Hijr 82. Al-Insyiqaq 25. Asy-Syams 54. Al-An'am 83. Ar-Rum 26. Al-Buruj 55. Ash-Shafat 84. Al-Ankabut 27. At-Tin 56. Luqman 85. Al-Muthaffifin 28. Quraisy 57. Saba' 29. Al-Qari'ah 58. Az-Zumar Inilah surat-surat yang diturunkan di Makkah. Sedangkan yang turun di Madinah (secara berurutan) adalah sebagai berikut : 86. Al-Baqarah 96. Ar-Rahman 106. Al-Hujurat 87. Al-Anfal 97. Al-Insan 107. At-Tahrim 88. Ali Imran 98. Ath-Thalak 108. Al-Jum'ah 89. Al-Ahzab 99. Al-Bayyinah 109. At-Taghabun 90. Al-Mumtahanah 100. Al-Hasyr 110. Ash-Shaf 91. An-Nisa' 101. An-Nasr 111. AI-Fath 92. Az-Zalzalah 102. An-Nur 112. Al-Maidah 93. Al-Hadid 103. Al-Haj 113. Al-Bara'ah.3) 94. Al-Qital 104. Al-Munafiqun 95. Ar-Ra'd 105. Al-Mujadalah

Mengapa Surat At-Taubah Tanpa Bismillah

Memang benar tidak ada lafadz basmalah pada surat yang kesembilan, yaitu surat At-taubah, atau sering disebut juga dengan nama surat Baro'ah. Disebut dengan Baro'ah yang bermakna pemutusan hubungan, karena isinya merupakan bentuk pemutusan hubungan dengan musuh-musuh Islam saat itu. Pada penulisan surat At-Taubah dalam mushaf Al-Qur’an, lafadz basmalah tidak dicantumkan dipermulaan surat tersebut. Hal tersebut berbeda dengan surat-surat yang lainnya yang mencantumkan basmalah di permulaan ayat.
Ada beberapa penjelasan dari para ulama mengapa basmalah tersebut tidak dicantumkan di permulaan surat At-Taubah.

1. Pendapat Pertama Al-Mubarrid berpendapat bahwa merupakan kebiasaan orang Arab apabila mengadakan suatu perjanjian dengan suatu kaum kemudian bermaksud membatalkan perjanjian tersebut, maka mereka menulis surat dengan tidak mencantumkan basmalah di dalamnya. Maka ketika turun surat baro’ah (At-taubah) yang memutuskan perjanjian antara Nabi SAW dengan orang-orang musyrik, beliau mengutus Ali bin Abi Thalib ra. kemudian membacakan surat tersebut tanpa mengucapkan Basmalah di permulaannya. Hal ini sebagaimana kebiasan yang berlaku di bangsa Arab.

2. Pendapat Kedua Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang sebab basmalah tidak ditulis di permulaan surat Baro’ah. Ali bin Abi Thalib ra. menjawab, "Basmalah adalah aman (mengandung rasa aman) sedangkan Baro’ah turun dengan pedang (berkaitan dengan peperangan)."

3. Pendapat Ketiga Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dari Ibnu Abbas ra, bahwa beliau ra. pernah bertanya kepada Utsman bin al-Affan ra, "Apa yang menjadi alasan Anda mencantumkan surat At-Taubah setelah surat Al-Anfal, tanpa mencantumkan basmalah di antara keduanya?" Beliau menjawab bahwa Rasulullah SAW apabila turun suatu ayat, maka beliau akan memanggil para penulis wahyu dan berkata, "Cantumkan ayat-ayat ini di surat yang disebutkan di dalamnya anu dan anu. Surat Al-Anfal merupakan surat-surat yang pertama diturunkan di Madinah, sedangkan Baro’ah merupakan surat yang terakhir turun. Dan ternyata kisah yang terkandung di dalam kedua surat tersebut saling menyerupai, sehingga aku mengira bahwa surat Bara'ah termasuk surat Al-Anfal. Kemudian Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menjelaskan hal tersebut.

Oleh karena itu aku menggandengkan kedua surat tersebut dan tidak mencantumkan basmalah di antara keduanya dan menempatkannya dalam As-Sab’u Ath-Thiwal. (Tafsir Fathul-Qadir karya Imam Ali As-Syaukani II/415-416). Itulah beberapa pendapat mengenai alasan tidak dicantumkannya basmalah di permulaan surat At-Taubah.
Oleh karena itu jika kita membaca surat tersebut dari permulaannya, maka kita hanya disunahkan mengucapkan ta’awudz saja tanpa basmalah. Demikian halnya jika kita membaca dari pertengahannya. Kita juga cukup membaca ta’awudz saja. Apabila kamu membaca al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.(QS An-Nahl: 98)

Siapa Yang Menentukan Nama-nama Surah, Juz, dan Rukuk di Al-Quran

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah urutan surat itu berdarkan wahyu atau bukan, silahkan simak rincian berikut ini: 1. Berdasarkan Ketetapan Rasulullah SAW Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi SAW sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Al-Qur'an pada masa Nabi SAW telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya. Seperti yang ada di tangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma') atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun. Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah aufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas'ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra'il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya', "Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Mekkah dan yang pertama-tama aku pelajari." Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini. Telah diriwayatkan melalui Ibn wahhab, dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata, "Aku mendengar Rabbi'ah ditanya orang, ' Mengapa surah Al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluh sekian surah makki, sedang keduanya di turunkan di Madinah?'. Dia menjawab, 'Kedua surah itu memang didahulukan dan Al-Qur'an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.' Kemudian katanya, 'Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan." Ibn Hisyar mengatakan, '"Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tampatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, "Letakkanlah ayat ini ditempat ini." Hal tersebut telah diperkuat oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma' para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini didalam mushaf." 2. Berdasarkan Ijma' Shahabat Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Dasar dari pendapat itu adalah kenyataan bahwa para shahabat punya koleksi mushaf yang awalnya berbeda-beda urutan. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra', kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surah makki dan madani. Dalam mushaf Ibn Masu'd yang pertama ditulis adalah surah Al-Baqarah, Nisa' dan Ali-'Imran. Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Niasa' dan Ali-Imran. Diriwayatkan Ibn Abbas berkata, "Aku bertanya kepada Usman, "Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk kategori masani dan Al-Bar'ah yang termasuk Mi'in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan di antara keduanya Bismillahirrahmanirrahim, dan kamu pun meletakkannnya pada as-Sab'ut Tiwal (tujuh surah panjang)? Usman menjawab, 'Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan, ' Letakkanlah ayat ini pada surah yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu." Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di madinah. Sedang surah Bara'ah termasuk yang terakhir diturunkan. Surah Anfal serupa dengan surah yang turun dalam surah Bara'ah, sehingga aku mengira bahwa surah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara'ah adalah sebagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmanirrahim serta aku meletakkannya pula pada as-Sab'ut Tiwal." 3. Pendapat yang Memadukan bahwa Sebagian Ayat Ditetapkan dan Sebagian lagi Ijtihad Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-'abut Tiwal, al hawamin dan al mufassal pada masa hidup Rasulullah. Diriwayatkan, "Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, baqarah dan ali Imran". Diriwayatkan pula, bahwa jika hendak pergi ketempat tidur, Rasululah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca Qul huwallahu ahad dan mu'awwizatain." Ibn Hajar mengatakan, "Tertib sebagain surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat Tauqifi." Untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadis Huzaifah as-Saqafi yang didalamnya antara lain termuat: Rasulullah berkata kepada kami, "Telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb (bagian) dari Qur'an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.' Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, "Bagaimana kalian membuat pembagian Qur'an? Mereka menjawab, "Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan, sebelas, tiga belas surah dan bagian al Mufassal dari Qaf sampai kami khatam." Kata Ibn Hajaar, " Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah." Dan katanya, "Namun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain." Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai terib mushaf mereka yang khusus, merupakan ihtiyar mereka sebelum Qur'an dikumpulkan secara terib. Ketika pada masa Usman Qur'an dikumpulkan , ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu huruf (logat) dan umatpun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing. Mengenai hadis tentang surah al-Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al Farsi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du'afa'. Di samping itu dalam hadis inipun tedapat kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terdapat hadis tersebut dalam musnad Imam Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir, menyebutkan, "Hadis itu tak ada asal mulanya" paling jauh hadis itu hanya menunjukan ketidaktertiban kedua surah tersebut. Sementara itu, pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertin ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu pula yang bersifat demikian hanya sedikit sekali. Dengan demikian bahwa tertib surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar Ibnul Anbari menyebutkan, "Alah telah menurunkan Qur'an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayatpun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi di mana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah, seperti halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat Al-Qur'an, seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirinya, ia telah merusak tatanan Al-Qur'an." Al-Kirmani dalam al-Burhan mengatakan, "Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada lauh mahfuz, Qur'an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan dihadapan Jibril menurut tertib ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah, "Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah." (Al-Baqarah: 28). Lalu jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini diantara ayat riba dan ayat tentang utang piutang. As-Suyuti cenderung pada pendapat Baihaqi yang mengatakan, "Al-Qur'an pada masa Nabi surah dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali anfal dan bara'ah, karena hadis Usman." Permasalahan juz-juznya memang ditetapkan kemudian, termasuk masalah ada huruf 'ainnya (rukuk). Semua itu ditulis setelah Islam mulai melebarkan sayap ke negeri-negeri yang tidak mengeri bahasa Arab, sehingga dibutuhkan teknik penulisan arab (Al-Qur'an) yang lebih dari apa yang ada sebelumnya.

Apakah Mani Najis atau Suci?

Ada dua pendapat:

1. Najis: pendapat Imam Abu Hifah dan Imam Malik. Dasarnya adalah Hadits Aisyah. Ketika ia ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab,”Aku dahulu mencucinyandari paian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk shalat. Sementara bekas cucian itu masih kelihatan pada pakaian beliau”. (Muttafaqun ’alaihi: Bukhari dan Muslim)
2. Mani suci: pendapat dari Imam syafii, Dawud dan Ahmad Hadits Aisyah tentang mani, ”Dulu aku mengeriknya dari pakaian Rasulullah SAW” (HR. Muslim: Shohih). Juga berdasarkan hadits Aisyah, bahwa ada tamu yang singgah di rumah Aisyah. Pagi harinya ia mencuci pakaiannya. Maka Aisyah berkata padanya,”Sesungguhnya cukup bagimu mencuci tempat yang terkena mani, jika engkau melihatnya. Maka percikan saja di sekitarnya. Aku pernah mengeriknya dari paian Rasulullah SAW lalubeliau shalat dengan pakaian tersebut”. (HR. Muslim: Shohih) Pendapat dari Mjmu’ Fatawa: Yang menegaskan hukum sucinya mani adalah bahwa para shahabat dahulu juga mimpi basah. Dan mani mengenai badan dan tubuh mereka. Seandainya najis, tentu wajib bagi Nabi SAW untuk memerintahkan mereka untuk menghilangkannya seperti ketika memerintahkan untuk beristinja’. Namun, tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hal tersebut.

Wallahu a’lam bishshawab

Kewajiban/mendoakan terhadap Orang Tua Non Muslim

Mendoakan orang tua yang non muslim agar mendapat hidayat sehingga masuk Islam tidak terlarang, justru doa itu adalah persembahan paling berharga yang bisa diberikan seorang anak kepada orang tuanya. Sebab tidak ada kekayaan dan kenikmatan yang lebih tinggi nilainya dari pada nikmat menjadi seorang muslim yang sujud kepada Allah SWT.
Doa itu adalah harapan sekaligus permintaan kepada Allah. Dan selama seseorang masih bernafas, masih ada kesempatan baginya untuk kembali ke jalan-NYa. Doa itu akan didengar oleh Allah SWT, walaupun masalah terkabul atau tidaknya, akan kembali lagi kepada Allah juga. Tetapi doa yang dipanjatkan tidak akan sia-sia. Minimal menjadi pahala bagi yang berdoa. Yang dilarang untuk mendoakan sesungguhnya adalah bagi orang kafir yang telah wafat dalam keadaan kekafirannya. Yaitu memohon kepada Allah SWT agar diampuni dosa-dosanya, padahal selama hidupnya tidak pernah menyatakan iman kepada Allah SWT dan mengingkari bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan rasul-NYa. Bahkan mengingkari bahwa Al-Qur'an Al-Kariem adalah firman-NYa yang wajib dijadikan pedoman hidup.
Larangan mendoakan orang kafir yang sudah mati itu jelas tercantum di dalam Al-Qur'an Al-Kariem: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS At-Taubah: 119) Yang dimaksud dengan meminta ampun buat orang musyrik adalah bila mereka telah nyata mati dalam keadaan kafir.

Adapun bila mereka masih hidup, tentu saja kita wajib mengajak mereka masuk Islam. Dan di antara bentuk ajakan itu adalah doa kepada Allah SWT agar mereka diberi hidayah dan cahaya yang menerangi hidup, berupa kesadaran untuk berserah diri kepada Allah SWT. Umar bin Al-Khattab ra. tadinya adalah seorang musyrik dan kerjanya memerangi dakwah nabi SAW. Namun dengan segala keikhlasan, Rasulullah SAW meminta kepada Allah agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari Umar. Dan Allah SWT mengabulkan doa itu sehingga Umar bin Al-Khattab masuk Islam serta menjadi orang terbaik setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Masuk Islamnya Umar ra. antara lain karena permohonan dan doa nabi SAW.

Namun apakah setiap doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan atau tidak, semua kembali kepada Allah SWT. Bahkan ketika Rasulullah SAW berdoa agar paman-Nya masuk Islam, kehendak Allah ternyata lain. Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS Al-Qashash: 56) Namun doa tetap harus dipanjatkan, karena doa itu memang diperintahkan. Masalah dikabulkan atau tidak, itu menjadi urusan Allah. Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (QS Al-Mu'min: 60)

Bila hari ini seseorang berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar orang tuanya yang non muslim diberi hidayah hingga memeluk agama Islam, tentu sebuah bentuk bakti kepada orang tua yang tak ternilai harganya. Perbuatan itu justru harus terus dilanggengkan, karena Allah SWT memerintahkan kita untuk meminta kepada-NYa, baik cepat terkabul atau tidak. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al-Baqarah: 186) Semoga Allah SWT memberi taufiq dan hidayat-Nya kepada saudara kita dan orang-orang yang masih kafir untuk bisa menerima anugerah yang paling berharga, yaitu menjadi seorang muslim.

Batasan Tegas Tentang Ahli Kitab

Yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, ini menurut Jumhur ulama. Sedangkan umat selain keduanya, seperti kaum Saibah, Asbath dan lainnya, meski pernah diturunkan kepada mereka kitab dari langit, namun tidak disepakati oleh para ulama. Sedangkan apakah orang-orang Yahudi dan Nasrani di masa sekarang ini masih dianggap ahli kitab? Jawabnya tentu saja masih dianggap ahli kitab. Kalau mereka dikatakan bukan lagi ahli kitab, harus ada sebab yang pasti dan mendasar. Sedangkan bila alasannya hanya sekedar karena mereka menyelewengkan kitab suci, maka sejak dahulu mereka sudah melakukannya. Bukankah Al-Quran berkali-kali mengutuk yahudi justru karena mereka menyelewengkan kitab suci mereka? Juga karena mereka memutar-balikkannya? Bahkan Allah SWT telah menyatakan bahwa mereka tidak lagi beriman kepada kitab suci yang diturunkannya lalu menjualnya dengan harga yang murah. Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa yang ada padamu , dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. (QS Al-Baqarah: 41) Hal itu karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (QS Al-Baqrah: 61) Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah , padahal kamu mengetahui. (QS Ali Imran: 70) Maka tatkala datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata, "Mengapakah tidak diberikan kepadanya seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu?" Dan bukankah mereka itu telah ingkar kepada apa yang telah diberikan kepada Musa dahulu? Mereka dahulu telah berkata: "Musa dan Harun adalah dua ahli sihir yang bantu membantu." Dan mereka berkata: "Sesungguhnya kami tidak mempercayai masing-masing mereka itu." (QS Al-Qashash: 48) Jadi perkara mereka menyelewengkan kitab suci, memang sudah sejak dahulu ketika nabi SAW masih hidup. Demikian juga kalau dikatakan bahwa mereka telah melakukan tindakan syirik seperti menjadikan menjadikan nabi Uzair atau nabi Isa sebagai anak Allah, maka sejak zaman nabi Muhammad masih hidup pun mereka telah melakukannya. Dan untuk kelakuannya itu, mereka divonis sebagai kafir oleh Allah SWT. Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam." Katakanlah, "Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?" Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Maidah: 17) Orang-orang Yahudi berkata, "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata, "Al-Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (QS At-Taubah: 30) Hal yang sama juga bila dikatakan bahwa mereka jarang-jarang ke kanisah (gereja) atau shauma'ah (sinagog), memang sejak dulu pun mereka memang jarang-jarang pergi ke tempat ibadah. Bahkan kisah di dalam Al-Quran menjelaskan bagaimana mereka melanggar larangan bekerja di hari Sabtu. Dengan demikian, Yahudi dan Nasrani di zaman nabi Muhammad memang sudah rusak parah, tidak perlu menunggu sampai sekarang ini. Namun di masa lalu, mereka tetap diperlakukan sebagai ahli kitab yang wanitanya halal dinikahi dan sembelihannya halal dimakan oleh muslimin. Lalu apa batasan seseorang dikatakan sebagai ahli kitab kalau demikian? Batasannya adalah ikrar dan pengakuan yang bersangkutan. Kira-kira sama dengan batasan keislaman seseorang yang juga ditetapkan berdasarkan ikrarnya ketika mengucapkan dua kalimat syahadat. Maka seseorang dikatakan Yahudi kalau mengakui dirinya sebagai Yahudi dan seseorang dikatakan sebagai Nasrani kalau mengakui dirinya sebagai Nasrani. Dan manakala seseorang berikrar bahwa dirinya sudah bukan Yahudi atau Nasrani lagi, maka secara otomatis mereka bukan Yahudi atau Nasrani. Sama seperti bila seorang muslim berikrar bahwa dirinya sudah bukan muslim lagi, maka otomatis gugurlah statusnya sebagai muslim. Bila saat itu dia mati, maka jasadnya tidak dikuburkan di pekuburan muslimin, bahkan tidak perlu dishalatkan jenazahnya. Dalam hal ini yang berlaku adalah ketetapan, "Nahkumu biz Zawahir Wallahu Yatawallas Sarair", yaitu kita menetapkan hukum berdasarkan apa yang nampak zahir, sedangkan yang tersembunyi di balik faktanya, menjadi urusan Allah. Yahudi dan Nasrani Musyrik? Sebagian orang berpendapat bahwa laki-laki muslim diharamkan menikahi wanita yahudi dan nasrani, karena mereka justru melakukan kemusyrikan. Sedangkan Al-Quran mengharamkan laki-laki muslim menikahi wanita musyrik. Pendapat ini juga benar dan banyak didukung oleh umat Islam. BahkanIbnu Umar mengatakan bahwa pemeluk agama ahli kitab itu pada dasarnya musyrik dan haram dinikahi. Sebab tidak ada kemusyrikan yang melebihi perbuatan seorang menyembah nabi Isa. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Kita pun perlu menghargai pendapat ini dan memang dalam banyak hal, tetap ada nilai-nilai kebenarannya. Namun perlu juga dicermati bahwa penggunaan istilah orang musyrik itu tidak selalu identik dengan orang yang melakukan praktek syirik. Kalau kita lihat pengistilahan Al-Quran, ternyata istilah orang musyrik itu memang dibedakan dengan ahli kitab. Meski dua-duanya sama-sama kafir dan pasti masuk neraka. Tetapi orang yang mengerjakan perbuatan syirik tidak otomatis menjadi orang musyrik. Sebab ketika Al-Quran menyebut istilah 'orang musyrik', yang dimaksudadalah orang kafir, bukan sekedar orang yangmelakukan perbuatan syirik.Apakah kalau ada seorang muslim datang ke kuburan karena dia kurang ilmunya, lalu meminta kepada kuburan, lantas dia langsung jadi kafir? Apakah seorang yang percaya dengan ramalan bintang (zodiak) itu juga bukan muslim? Bukankah ketika seorang bersikap riya juga merupakan bagian dari syirik juga? Tentu tidak, orang yang terlanjur berlaku riya tentu tidak bisa disamakan dengan orang musyrik penyembah berhala yang pasti masuk neraka. Bukankah bila seorang datang kepada dukun, percaya pada ramalan bintang, percaya kepada burung yang terbang melintas, percaya bahwa ruh dalam kubur bisa mendatangkan bahaya dan sejenisnya juga merupakan perbuatan syirik? Dan berapa banyak umat Islam yang hingga hari ini masih saja berkutat dengan hal itu? Tentu saja mereka tidak bisa dikatakan kafir, non muslim atau pun dikatergorikan sebagai pemeluk agama paganis dan penyembah berhala. Sebab ayat yang mengharamkan muslim menikahi wanita musyrik itu maksudnya adalah wanita yang belum masuk Islam. Bukan orang yang pernah melakukan perbuatan yang termasuk kategori syirik. Dan perbuatan syirik yang mereka lakukan itu tidaklah membuat mereka keluar dari Islam. Bukan Ahli Kitab: Yahudi atau Nasrani Yang dimaksud dengan orang musyrik yang tidak boleh dinikahi juga bukan non muslim ahli kitab (nasrani atau yahudi). Tetapi yang dimaksud adalah mereka yang beragama majusi yang menyembah api, atau agama para penyembah berhala seperti kafir Quraisy di masa lalu. Dan bisa juga agama para penyembah matahari seperti agamanya orang jepang dan lainnya. Musyrikin itu dalam hukum Islam dibedakan dengan ahli kitab, meski sama-sama kafirnya. Pemeluk agama ahli kitab itu secara hukum masih mendapatkan perlakuan yang khusus ketimbang pemeluk agama berhala lainnya. Misalnya tentang kebolehan bagi laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahli kitab. Juga tentang kebolehan umat Islam memakan daging sembelihan mereka. Sesuatu yang secara mutlak diharamkan bila terhadap kafir selain ahli kitab. Wallahu a’lam bishowwab Diolah dari beberapa sumber.

NIKAH BEDA AGAMA

Marilah kita cermati Surat Al Baqarah ayat 221 : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Asbabun Nuzul dari ayat tersebut diriwayatkan dalam hadist, yaitu ketika seorang sahabat Abdilah bin Rawahah, datang kepada Rasulullah menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya yang hitam kelam dan jelek karena marah, dia merasa menyesal dan meminta petunjuk Rasulullah. Rasulullah bertanya : “Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut..?”, Abdilah menjawab bahwa budaknya itu seorang muslimah yang ta’at,. Rasulullah kembali berkata :”Wahai Abdilah, dia itu adalah seorang yang beriman”. Maka Abdilah menimpali :”Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakannya dan menikahinya..”. Peristiwa tersebut memancing penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdilah menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut turunlah wahyu Allah. Seiring dengan itu Nabi Muhammad SAW bersabda :”Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan sirna. Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, karena suatu sa’at harta tersebut bisa menyesatkan. Nikahilah wanita karena agamanya. Seorang hamba sahaya yang hitam kelam dan jeles parasnya lebih utama sepanjang dia beriman kepada Allah”. Bukhari Muslim meriwayatkan hadist :”Wanita dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang mempunyai agama, tentu kamu berbahagia”. Dari Asbabun Nuzul dan hadist Nabi diatas, terlihat bahwa larangan Allah dan anjuran Rasulullah untuk tidak menikahi wanita musyrik, bukanlah merupakan larangan yang ditujukan secara khusus, tapi lebih sebagai pembanding, bahwa dalam ajaran Islam seorang budak wanita yang beriman dan ta’at, dinilai lebih baik dari pasangan anda yang musyrik. Sebaliknya bagi wanita muslimah, pernyataan Allah tersebut lebih ditujukan kepada walinya, bukan kepada orangnya, ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan ajaran ini, pihak wali-lah yang dituntut untuk berperan dalam menerapkannya. Allah terlihat ‘mengerti betul’ bahwa dalam kasus-kasus pernikahan beda agama, masalahnya sangat kompleks karena banyak menyangkut soal perasaan, cinta dan kasih sayang, suatu hal yang pada dasarnya sering diluar kontrol manusia, makanya secara keseluruhan redaksi ayat itu terkesan bersifat ‘mengingatkan’, dan diakhiri dengan : Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran, Allah seolah-olah mau mengatakan : “Inilah perintah-Ku, pikirkanlah baik-baik..”. Aturan ini sebenarnya sangat jelas, yaitu memakai kata ‘janganlah’, artinya jangan itu : dilarang, tidak boleh, tidak diizinkan. Namun ketika sampai kepada penafsiran ‘orang-orang musyrik’ laki-laki dan wanita, maka muncul perbedaan penafsiran. Umumnya para ulama menyatakan orang musyrik itu adalah yang beragama selain Islam, sedangkan dipihak ‘sono’ dimotori oleh pemikir-pemikir Islam penganut liberalisme dan pluralisme, ‘mempertajam’ istilah orang musyrik ini adalah ‘kaum musyrik yang bersikap memusuhi Islam’ ibaratnya musyrik Makkah pada waktu ayat tersebut diturunkan. : Marilah kita coba memikirkan ajaran Islam secara sederhana saja bahwa Allah menyampaikan petunjuk-Nya dalam Al-Qur’an bertujuan untuk pedoman kita dalam menjalani kehidupan, termasuk mengatur hubungan antar manusia. Bisa saja secara redaksional aturan tersebut ‘direkam’ melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar Rasulullah, namun ‘bunyi’ aturan tersebut tetaplah terdengar sama sampai sekarang. Menafsirkan ayat dengan memilah-milahnya berdasarkan dimensi dan konteks tertentu (seperti kategori sosial dan teologis) bisa menjadi cara ‘yang terlalu pintar’ dan membuahkan hasil berupa pengertian yang jauh dari bunyi teksnya. Rasanya ‘lebih aman’ kalau dalam menafsirkan perintah dan larangan Allah, kita selalu terfokus kepada ‘apa yang sebenarnya diinginkan Allah’ bukan kepada 'apakah ada peluang atau kemungkinan lain dari larangan Allah tersebut' sehingga kita bisa mengarahkan nurani dan pikiran kita untuk menangkapnya secara utuh, dan menutup sebisa mungkin ‘lobang-lobang’ penafsiran yang meragukan. Cara-cara pemilahan aspek terhadap ajaran Allah mungkin terkesan merupakan sikap yang ‘mengakali’ ajaran-Nya. Dalam surat Al Baqarah ayat 221 tersebut dimulai dengan kata : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Marilah kita tanya Al-Qur’an, apa maksudnya dengan kata ‘musyrik’ dan apa artinya dengan kata ‘beriman’. Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik". (Al Baqarah135) Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." 68. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali Imran67) Sumber: forum.swaramuslim.net
Dalam prakteknya ditemukan bahwa banyak juga dari sahabat Rasulullah yang melakukan pernikahan beda agama ini, diantaranya Usman bin Affan yang menikahi wanita Kristen, sekalipun pada akhirnya istrinya tersebut masuk Islam. Thalhah bin Zubair juga tercatat menikahi wanita Yahudi. Berkenaan dengan ‘Ahli Kitab’ mari kita simak ayat-ayat dibawah : Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al Baqarah105) Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (Al Bayyinah 1) Yang menarik adalah antara kedua ayat tersebut orang musyrik digolongkan kepada ‘orang kafir’, namun Ahli Kitab mempunyai dua pengertian, yaitu : ‘orang-orang kafir yakni Ahli Kitab’, menunjukkan bahwa Ahli Kitab adalah orang kafir, dan dalam Al Baqarah 105, ‘orang-orang kafir dari Ahli Kitab’ menunjukkan bahwa tidak semua Ahli Kitab digolongkan sebagai ‘al kaafiruun’. Ini diterangkan oleh ayat Al-Qur’an yang lainnya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali Imran) Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (Ali Imran 113) Jadi apabila Al-Qur’an menyatakan adanya ‘Ahli Kitab yang bukan kafir’ diindikasikan dengan sikap mereka sesuai apa yang ada dalam ayat diatas, yaitu ; beriman kepada Allah, berlaku lurus, membaca ayat-ayat Allah, sembahyang, tidak menukar ayat-ayat Allah, dll. Diluar itu maka Ahli kitab tersebut termasuk golongan ‘orang kafir’, segolongan dengan orang musyrik. Ustadz Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah mengibaratkan penyebutan dengan istilah korupsi dan mencuri, Walau substansinya sama, yaitu mengambil sesuatu yang bukan haknya, namun dalam penggunaannya, korupsi biasanya dilakukan oleh pegawai kepentingan publik, sedangkan mencuri disematkan kepada yang ‘non pegawai’. Maka kalau dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan ajaran-Nya dan melarang, artinya jangan adalah jangan, tidak boleh, tidak diizinkan, namun soal larangan nikah beda agama ini Allah menyampaikannya dengan cara yang ‘unik’, karena menyangkut soal perasaan dan cinta. Islam mengajarkan bahwa cinta sejati hanya ditujukan kepada Allah, rasa cinta kepada pasangan anda haruslah dalam rangka karena anda mencintai Allah, anda dilarang untuk mabuk cinta, karena mabuk cinta akan ‘menomor-duakan’ cinta anda kepada Allah. Ketika anda, atau anak perempuan anda, atau anak laki-laki anda memutuskan untuk menikah dengan pasangannya yang berbeda agama, dan untuk itu dia sanggup menetang orang tuanya, bahkan kalau perlu menantang seluruh dunia agar keinginannya tercapai, apa sebenarnya yang melandasi semangatnya itu..? Satu-sarunya yang menjadi dasar nikah beda agama adalah adanya rasa cinta terhadap pasangan anda. Disinilah andil orang tua sangat menentukan, anak harus dididik dari kecil untuk memiliki sikap yang tepat terhadap rasa cinta, karena perasaan tersebut ‘datang tanpa Assalamu’alaikum dan pergi tanpa permisi’, katakanlah kepada anak-anak anda bahwa cinta itu ibaratnya kentut, kalau sudah datang, susah untuk ditahan, kalaupun anda nekad untuk menahannya, bisa bikin badan meriang dan keringat dingin, perut kembung dan anda bisa sakit. Namun kentut jangan ‘dilepas’ disembarangan tempat, anda jangan melepasnya ditengah pesta karena bisa ‘mengganggu kepentingan umum’, anda bisa segera menyingkir ketempat sepi, ke kebun atau toilet, itulah tempat yang tepat untuk melepas kentut. Demikian pula dengan cinta, apabila ‘dilepas’ kepada sasaran yang tidak tepat, bisa ‘mengganggu kepentingan umum’ karena prinsipnya suatu perkawinan bukan hanya menyangkut urusan anda berdua saja, tapi semua keluarga anda dan keluarga pasangan anda terkait di dalamnya. sekalipun mungkin membuat anda menjadi lega, tapi percayalah…, itu cuma sesaat, karena bisa jadi beberapa waktu kemudian hasrat cinta itu menghilang dan muncul lagi, dengan sasarang yang lain..Katakanlah kepada anak anda :”Nak..kalau kamu memang mencintai Allah dengan segenap jiwa ragamu, apakah mungkin dalam saat yang sama kamu juga mencintai orang lain yang kemungkinan besar dimurkai Allah karena telah mempersekutukan-Nya..??” Hidup di dunia ini bukan segala-galanya, Rasulullah mengajarkan bahwa kita ibarat pengembara yang melakukan perjalanan dengan kapal, disuatu pulau kita singgah sebentar untuk mengambil bekal melanjutkan perjalanan. Kalau kemudian anda ‘kepincut’ dan kagum dengan tetangga anda, ‘si pasangan beda agama’ yang hidup rukun dan berbahagia, ingatlah bahwa : Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Al Hadiid 20) Sumber: forum.swaramuslim.net

Menjaga Kemaluan, Bahaya/bencana Lidah

Bencana atau bahaya yang diakibatkan oleh lida sangat beragam. Begitu bahayanya sampai-sampai Nabi SAW mengingatkan kita: “siapa yang menjamin bagiku apa yang ada diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa yang ada diantara dua tulang kakinya (kemaluan) maka aku menjamin baginya surga” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ahmad) Berbagai bencana dan bahaya tersebut adalah:

1. Perkatan yang tidak berguna/ tidak dibutuhkan ”Diantara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak diperlukannya (HR. At Tirmidzi dan Al Baghawy : Shohih)
2. Melibatkan diri dalam kebatilan (ikut berbicara dalam hal kedurhakaan, kefasikan dan sebagainya) ”Sesungguhnya seorg hamba itu benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang menjerumuskannya ke dalam neraka yang jaraknya lebih dari jarak antara Timur-Barat” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
3. Banyak bicara dan memaksak diri dengan kata-kata bersajak ” Sesungguhnya orang yang paling kubenci dan yang paling jauh jaraknya diantara kalian dengan aku pada hari kiamat ialah orang yang akhlaknya buruk diantara kalian, banyak bicara, dan banyak berkata-kata” (dari Abu Tsa’labah)
4. Bicara keji, mencela dan mengumpat -”Orang mukmin itu bukan orang yang suka mencemarkan kehormatan, bukan pula orang yang suka mengutuk, berkata keji, dan mengumpat” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan AL Hakim)
5. Bercanda yang disertai kebohongan Rasulullah tidak melarang bercanda, karena beliu juga suka bercanda. Yang perlu diingat dalam canda beliau: - Tidak berbicara kecuali benar - Sering dilakukan kepada anak-anak, wanita, dan lelaki yang membutuhkan bimbingan - Dilakukan jarang-jarang, tidak terus menerus
6. Mengejek dan mengolok-olok
7. Membocorkan rahasia, melanggar janji, berdusta dalam perkataan dan sumpah
8. Ghibah ” wahai sekalian orang yg beriman dengan lidahnya sedangkan im itu belum masuk ke dalam hatinya, jangalah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah mencari-cari aib mereka, karena sesiapa yang mencari-cari aib saudaranya, niscaya Allah akan mencari-cari aib dirinya, dan siapa yang Allah mencari-cari aib dirinya, niscaya Dia akan membuka kejelekannya sekalipun dia bersembunyi di dalam rumah” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Ahmad, Al Baghawy)
9. Mengadu domba ” Tidak masuk surga orang yang suka mengadu domba” (HR. Bukhari dan Muslim)
10. Perkataan dengan dua lidah di hadapn dua orang yang sedang bertengkar, sehingga menyebabkan semakin sengit pertengkarannya ” Sesungguhnya orang yang paling jahat adalah orang yang memiliki dua wajah, yang datang kepada seseorang dengan satu wajah dan kepada yang lain dengan wajah yang lain pula” (HR. Bukhari dan Muslim)
11. Kata-kata pujian, yang bisa menyebabkan takabur dan ujub Sabda Rasulullah SAW tatkala mendengar seseorang yang memuji orang lain, ” Celaka engkau, karena engkau telah memenggal leher rekanmu”(HR. Bukhari dan Muslim)
12. Kesalahan menjelaskan dalam urusan agama. Kita dianjurkan untuk berhati-hati dalam memilih kata untuk menjelaskan sesuatu ”janganlah salah seorang di antara kalian mengatakan, ”Hai, hambaku laki-laki dan hambaku wanita”. Setiap orang diantara kalian adalah hamba Allah dan setiap wanita diantara kalian adalah hamba Allah. Tetapi hendaklah kalian mengatakan,”Hai pembantuku li-laki dan pembantuku perempuan”(HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Lima Golongan Orang-orang yang Merugi

Allah SWT menegaskan di dalam Al Quran tentang golongan orang yang merugi karena semua amal mereka di dunia menjadi sia-sia. Semua amal mereka tidak mampu memberatkan timbangan kebaikan mereka di akhirat, Mereka mendapatkan azab dan siksa yang amat pedih dari Allah SWT Semua itu karena sikap mereka yang lebih mengikuti potensi buruk daripada potensi baik yang ada dalam diri mereka. Mereka tidak melaksanakan perintah Allah SWT dan mengerjakan larangan-Nya. Berikut ini lima golongan orang yang merugi. Pertama, orang-orang yang mempersekutukan Allah SWT dengan ciptaan-Nya. Mereka percaya kepada kekuatan selain Allah SWT yang mampu memberikan manfaat dan rpelindungi mereka dari kejahatan. Bahkan, mereka bersekutu dengan kekuatan itu dalam mencapai setiap keinginan. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. 39:65) Kedua, orang-orang yang berpihak kepada yang batil. Mereka mendustakan ayat-ayat Allah SWT dalam Al Quran. Mereka juga tidak mempercayai bahwa mereka akan menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia. Keberpihakan mereka kepada yang batil didorong oleh nafsu mendapatkan kenikmatan dunia sebanyak-banyaknya. Allah SWT berfirman, "Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. 29: 52) Ketiga, orang-orang yang menolak Islam sebagai agama yang benar yang diridai oleh Allah SWT. Mereka menganggap Islam hanya merupakan produk budaya masyarakat Arab sehingga tidak semua ajarannya layak diterapkan saat ini. Bahkan, dengan dalih pluralisme, mereka melakukan kampanye menolak kebenaran mutlak agama Islam. Allah SWT berfirman, "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekati-kalr tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. " (QS. 3: 85) Keempat, orang-orang yang teperdaya oleh hawa nafsu. Akal dan agama yang diberikan oleh Allah SWT tidak mampu membentengi mereka dari dorongan nafsu yang merusak. Mereka melakukan semua perbuatan setan yang sangat dilaknat oleh Allah SWT Membunuh, mencuri, menipu dan sejenisnya telah menjadi bagian hidup mereka. Mereka tidak lagi bertuhan kepada Allah SWT tetapi kepada hawa nafsu mereka. Allah SWT berfirman, "Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya. sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. " (QS. 5: 30) Kelima, orang-orang yang melupakan Allah SWT karena sibuk dengan harta dan anak mereka. Mereka lupa bahwa harta dan anak sesungguhnya adalah amanat dari Allah SWT yang harus mereka jadikan sebagai media mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka terlena oleh nilai harta dan anak sehingga lalai memenuhi hak-hak Allah SWTatas mereka. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. " (QS. 63: 9) Sikap dan perilaku buruk di atas, hendaknya dijauhi oleh setiap muslim ketika hidup di dunia. Hal ini agar semua amal yang telah diperbuat tidak sia-sia dan dapat memberatkan timbangan kebaikan di akhirat kelak sehingga terhindar dari kerugian yang amat besar. Wallahu Allam. Oleh H. Muhammad Irfan Helmy, Lc, MA( alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, kini dosen STAIN Salatiga).

Melayat/takziyah dan Mendoakan Orang Kafir Diterima Amalannya.

Kita sebagai umat muslim harus membedakan antara muammalah dengan ibdah mahdhoh. Hubungan dengan orang non muslim adalah sebuah muamalah. Sehingga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Masalah Pertama: Bertakziyah kepada Orang Kafir Para ulama telah menyepakati bahwa bertakziyah kepada orang non muslim hukumnya boleh. Termasuk berbuat baik, bermuamalah, bertetangga, saling bertukar hadiah dan seterusnya. Paus Yohanes Pauls II secara nyata belum pernah menyatakan ke-Islaman, sehingga dalam kaca mata syariah dia dihukumi sebagai non muslim. Meski semua orang mengakui bahwa dirinya banyak melakukan berbagai kebaikan. Namun ketika dia meninggal, boleh hukumnya bagi seorang muslim untuk bertakziyah serta mengucapkan bela sungkawa.

Perilaku ini dibenarkan berdasarkan praktek Nabi SAW di masa lalu, dimana beliau pernah mengunjungi jenazah orang kafir. Dan syariat Islam tidak melarang kita untuk melakukan hal ini, karena juga tidak ada nash yang melarangnya. Termasuk yang dibolehkan adalah mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga atau kerabatnya.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Mumtahanah: 8) Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menjenguk seorang Yahudi yang dahulu pernah melayaninya dan akhirnya Yahudi itu masuk Islam. Hal itu diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-adab Al-Mufrad, juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Matalib Al-Aliyah.

Intinya bermuamalah itu boleh selama dalam koridor syariah. At-Tsauri berkata bahwa seorang muslim dibolehkan untuk bertakziyah kepada orang non muslim yang mati, dan kepadanya disunahkan untuk mengucap (lillahis-sultan wal azhamah), kekuasaan dan keagungan hanyalah milik Allah. Al-Hasan berkata bila kamu bertakziyah kepada orang kafir maka ucapkanlah, "Tidaklah menimpamu kecuali kebaikan." Abu Ubdullah bin Baththah berkata, "Yang diucapkan pada saat bertakziah kepada orang kafir adalah: "Semoga Allah memberikan kepada atas musibah ini sesuatu yang lebih baik dari apa yang Allah berikan kepada siapapun dari orang yang memeluk agamamu."

Seorang muslim boleh memilih lafaz manapun yang lebih disukainya dari lafaz-lafaz di atas. Masalah Kedua: Mendoakan Orang Kafir Hukum mendoakan orang kafir itu tergantung dari materi doanya dan pada saat kapan doa itu dipanjatkan. Berdoa kepada Allah SWT untuk orang kafir yang dibenarkan adalah mendoakannya agar mendapatkan hidayat agar masuk Islam. Sebagaimana dahulu Rasulullah SAW berdoa agar Islam dikuatkan oleh salah satu dari dua Umar. Dan akhirnya Umar bin Al-Khattab masuk Islam.
Selain itu doa yang dibolehkan adalah memintakan ampunan untuk orang kafir ketika masih hidup. Hal itulah kita dapatkan dari hadit berikut ini: Dari Abi Abdirrahman Abdillah ibni Mas'ud r.a. berkata, "Seolah aku masih melihat Rasulullah SAW tengah menceritakan seorang nabi di antara para nabi shalawatuhu wa salamuhu alaihim yang dipukul oleh kaumnya hingga berdarah. Nabi itu lalu menyeka darah dari wajahnya seraya berdoa,"Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu"" (HR Muttafaqun 'alaihi)

Namun memintakan ampunan bagi orang kafir yang sudah meninggal dunia hukumnya haram. Dalilnya adalah ketika Rasulullah SAW meminta izin kepada Allah SWT untuk meminta ampunan dari Allah atas ibunya, permintaan itu ditolak Allah SWT. Dalil lainnya adalah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Al-Quran kisah meninggalnya Abu Thalib, di mana saat itu Rasulullah SAW ingin memintakan ampunan kepada Allah SWT atas dosa-dosa Abu Thalib. Saat itu turunlah ayat berikut ini: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.

Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS At-Taubah: 113-114)

KESEIMBANGAN KATA DALAM AL QUR'AN (bukti bukan tulisan Nabi SAW

Abdul Razak Naufal, seorang sarjana Mesir menemukan bahwa kata-kata yang terkandung dalam Quran sangat harmonis dan akurat. Dia mempublikasikan hasil penyelidikannya dalam bukunya yang berjudul "Al-Ijaaz Al-Adady LilQuran Alkarim" (Kemukjizatan dari segi bilangan dalam Quran) yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan jumlah kata-kata dalam Quran. Semua keajaiban itu menunjukkan bukti bahwa ada kekuatan yang mahadahsyat yang melebihi kekuatan manusia., yaitu Allah.
Berikut rangkuman/ ringkasan dari hasil penelitiannya tersebut, dimana pembaca bisa membuktikan sendiri secara tepat dengan merujuk pada Kashful-ul-Ayat dari Quran :


Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan 'Antonimnya' (lawan kata) :

* Kata 'Hayat' (Hidup) dan 'Maut' (Mati) masing-masing ditemukan sebanyak 145 kali.
* Kata 'Al Nafa'a' (Manfaat) dan 'Al Madharrat' (Madharrat) masing-masing sebanyak 50 kali.
* Kata 'Al Har' (Panas) dan 'Al Bardu' (Dingin) masing-masing sebanyak 4 kali.
* Kata 'As Sholiha' (Kebajikan) dan 'As Sayah'(Keburukan) masing-masing sebanyak 167 kali.
* Kata 'At Thoma'ninah' (Kelapangan/ Ketenangan) dan 'Adduk' (Kesempitan/ Kekesalan) masing-masing sebanyak 13 kali.
* Kata 'Arrobat' (Cemas/ Takut) dan 'Arrogho' (Harap/Ingin) masing-masing sebanyak 8 kali.
* Kata 'Al Kafir' (Kafir) dan 'Al Iman' (Iman) dalam bentuk difinite masing-masing sebanyak 8 kali, sedang dalam bentuk indifinite masing-masing sebanyak 17 kali.
* Kata 'As Shufah' (Musim Panas) dan 'As Syata' (Musim Dingin) masing-masing sebanyak 1 kali.
* Kata 'Dunya' (Dunia) dan 'Akherat' (Hari Kemudian) masing-masing sebanyak 115 kali.
* Kata Setan dan Malaikat masing-masing sebanyak 88 kali.

Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan 'Sinonimnya' (makna yg dikandungnya):

* Kata 'Al Harot' dan 'An Naro'at' (Membajak/ Bertani) masing-masing sebanyak 14 kali.
* Kata 'Al Ajaba' dan 'An Ghororoh' (Membanggakan Diri/ Angkuh) masing-masing sebanyak 27 kali.
* Kata (Orang Sesat/ Mati Jiwanya) masing-masing sebanyak 17 kali.
* Kata (Quran, Wahyu, dan Islam, ) masing-masing sebanyak 70 kali.
* Kata (Akal dan Cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali.
* Kata (Nyata) masing-masing sebanyak 16 kali.

Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata yang menunjuk pada akibatnya :

* Kata (Menafkahkan) dengan (Kerelaan) masing-masing sebanyak 73 kali.
* Kata (Kekikiran) dan (Penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali.
* Kata (Orang-orang kafir) dan (Neraka/ Pembakaran)) masing-masing sebanyak 154 kali.
* Kata (Zakat/ Pensucian) dan (Kebajikan yang banyak) ) masing-masing sebanyak 32 kali.
* Kata (Kekejian) dan (Murka) ) masing-masing sebanyak 26 kali.
* Kata 'Al Rijs' (Godaan Syaithan dan Najis) dan 'Al Rejz' (Siksa yang pedih) masing-masing sebanyak 10 kali.
* Kata 'Ilm' (Mengetahui), 'Ma'rifat' (Pengenalan Allah), dan 'Iman'Keyakinan) masing-masing sebanyak 811 kali. Ini menunjukkan bahwa melalui pengenalan kepada Allah dapat menghantarkan pada keyakinan yang teguh.

Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya :

* Kata (Pemborosan) dan (Ketergesa-gesaan) masing-masing sebanyak 23 kali.
* Kata (Nasehat/ Petuah) dan (Lidah) masing-masing sebanyak 25 kali.
* Kata (Tawanan) dan (Perang) ) masing-masing sebanyak 6 kali.
* Kata (Kedamaian) dan (Kebajikan) ) masing-masing sebanyak 60 kali.

Keseimbangan Khusus

* Kata 'Yaum' (Hari) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 365 kali, sama dengan jumlah hari dalam setahun.

* Kata 'Yaam' dan 'Yaumin' (Hari-hari) dalam bentuk jamak, jumlah keseluruhannya ditemukan sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam sebulan.
* Kata 'Syahr' (Bulan) ditemukan sebanyak 12 kali, sama dengan 12 bulan dalam setahun.
* Kata 'Asbat' (Dua belas sahabat Nabi Musa) dan 'Hawariun' (Dua belas sahabat Nabi Isa) masing-masing ditemukan sebanyak 5 kali.
* Kata-kata yang menunjuk pada utusan Tuhan, yaitu (Rasul), (Nabi), (Pembawa Berita Gembira), dan (Pemberi Peringatan) keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama Nabi, Rasul, Pembawa Berita tersebut, yakni 518 juga.
* Dalam Quran terdapat 7 (tujuh) ayat yang memberi penjelasan tentang langit ada 'tujuh', dan 7 (tujuh) ayat pula yang menjelaskan terciptanya langit dan Bumi dalam 'enam' tahap. Sumber : www.ukhuwah.or.id

9 Jenis Anak Setan Menurut Umar Al-Khattab R. A

Umar al-Khattab r. a berkata, terdapat 9 jenis anak syaitan : 1. Zalituun Duduk di pasar/kedai supaya manusia kehilangan sifat cermat. Menggoda supaya manusia berbelanja lebih dan membeli barang-barang yang tidak perlu. 2. Wathiin Pergi kepada orang yang mendapat musibah supaya berprasangka buruk terhadap Allah. 3. A'awan Menghasut sultan/raja/pemerintah supaya tidak mendekati rakyat. Bernafsu dengan kedudukan/kekayaan hingga terabai kebajikan rakyat dan tidak mau mendengar nasihat para ulama. 4. Haffaf Berkawan baik dengan kaki botol. Suka menghampiri orang yang berada di tempat-tempat maksiat (cth: disko, kelab mlm & tempat yg ada minuman keras). 5. Murrah Merusakkan dan melalaikan ahli dan orang yg suka musik sehingga lupa kepada Allah. Mereka ini tenggelam dalam keseronokan dan glamour etc. 6. Masuud Duduk di bibir mulut manusia supaya melahirkan fitnah, gosip, umpatan dan apa saja penyakit yang berasal dari kata-kata mulut. 7. Daasim (BERILAH SALAM SEBELUM MASUK KE RUMAH...) Duduk di pintu rumah kita. Jika tidak memberi salam ketika masuk ke rumah, Daasim akan bertindak agar berlaku keruntuhan rumahtangga (suami isteri bercerai-berai, suami bertindak ganas, memukul isteri, isteri hilang pertimbangan menuntut cerai, anak-anak didera dan pelbagai bentuk kemusnahan rumah tangga lagi). 8. Walahaan Menimbulkan rasa was-was dalam diri manusia khususnya ketika berwudlu dan solat dan ibadat-ibadat kita yg lain. 9. Lakhuus Merupakan sahabat orang Majusi yang menyembah api/matahari. 10. Isetan. Sebuah pasaraya yg terkemuka di seluruh dunia. terdapat di sekitar Lembah Klang, Singapore, Beijing &..... Kebaikan: Memberi potongan harga pada Karnival jualan Keburukan: Melalaikan manusia bershopping sehingga lupa waktu sembahyang dan 11. Hindusetan Mereka-mereka yang menonton cerita hindustan, sampai masuk waktu sholat, masih nongkrong di depan tv.....kepala keluar tanduk, tak sadar bahwa ia telah menjadi hindusetan!!!

Pembatal-pembatal ke Islaman(murtad/riddah)

1. Riddah dengan sebab ucapan Mislany mencela Allah SWT atau RasulNya, menjelek-jelekan malaikat atau rasulNya, mengakui mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai nabi, membenarkan orang yang mengaku nabi, berdoa kepada selain Allah, dan sebagainya.
2. Dengan sebab Perbuatan Misalnya melakukan sujud kepada pohon, batu, dansebagianya. Berkorban untuk selain Allah, melempar mushaf ke tempat yang kotor, melakukan praktik sihir, mempelajari sihir dan mengajarkannya, memutuskan hukum Allah dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya
3. Dengan sebab keyakinan Meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal, meyakini roti haram, meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan, dll. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah diharamkan
4. Dengan sebab Keraguan Misalnya meragukan sesuatu yang sudah jelas keharamannya. Meragukan kebenaran risalah Rasul SAW, meragukan Islam tidak sesuai dengan zaman sekarang dan akan datang.

Sepuluh Pembatal Keislaman

1. Melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada Allah (Barang siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan atasnya syurga dan tempat kembalinya adalah neraka…(Al Maidah 72)
2. Menggunakan perantara dalam beribadah yang dijadikan sebagai tujuan permohonan doa dan tempat meminta selain Allah
3. Tidak meyakini kafirnya orang musyrik, meragukan kekafiran mereka, bahkan membenarkan keyakinan mereka
4. Yakin bahwa ada hukum dan petunjuk selain tuntunan Nabi yang lebih sempurna
5. Membenci ajaan Rasul SAW, meskipun dia ikut melakukan ajaran tersebut
6. Mengolok-olok ajaran Islam, pahala atau siksa
7. Sihir
8. Membantu kaum kafir dalam menghancurkan Islam
9. Keyakinan bahwa sebagian orang boleh tidak mengikuti syariat nabi SAW dengan menganalogkan Nabi Khidr bersama Nabi Musa As.
10. Berpaling total dari agama, tidak mau mempelajari maupun mengamalkannya (Silakan lihat Nawaqidh Al Islam karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz)

Diolah dari: Pembatal-pembatal Keislaman buletin At Tauhid

Dosa Besar, Syirik, Mengabaikan Sholat

Dosa Besar: Mengabaikan Sholat
Surat Maryaam: 59: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan” Surat Al Mau’un: 4-5 “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” Juga dalam sabda Nabi Saw: Pemisah antara hamba Allah yang beriman dengan yang kafir, adalah meninggalkan sholat (HR>Bukhari dan Muslim dari Anas) ”Barang siapa secara sengaja meninggalkan sholat, maka tidak ada jaminan baginya dari Allah (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Syahr bib Hausyah)

Dosa-dosa besar: Syirik Besar - kecil (Pamer/ riya’) dan Membunuh Orang (termasuk bunuh diri)
Menyekutukan Allah: 1. Syirik Besar: melakukan peribadatan atau penyembahan kepada selain Allah: kepada batu,ulama, syeh, pohon, keris, dan sebagainya. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (An Nisaa: 116) Dan masih sangat banyak ayat lain yang menunjukkan hal tersebut. 2. Syirik kecil: ingin mendapatkan pujian atau sanjungan hal ini sering disebut riya’ atau pamer. “Jauhilah olehmu syirik kecil”. Lantas para shahabat bertanya,”Ya Rasulullah apakah syirik kecil itu?” Jawab Rasulullah SAW,”yakni pamer (riya’). Pada hari pembalasan nanti Allah akan berfirman kepada orang-orang yang riya dalam beramal,”Pergilah kamu kepada orang-orang yang memuj dan menyanjung amalmu ketik kamu masih berada di dunia. Lihatlah, apakah kamu mendapatkan pahala dari mereka”. (HR. Ahmad, Baihaqi, dan Thabrani dari ibnu Abbas). Dan beberapa hadits senada lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain.

Tatoo, Kikir Gigi dan Operasi Kecantikan Hukumnya Haram

Mentatoo badan dan mengikir gigi adalah perbuatan yang dilaknat oleh Rasulullah s.a.w., seperti tersebut dalam hadisnya: "Rasulullah s.a.w. melaknat perempuan yang mentatoo dan minta ditatoo, dan yang mengikir gigi dan yang minta dikikir giginya." (Riwayat Thabarani) Tatoo, yaitu memberi tanda pada muka dan kedua tangan dengan warna biru dalam bentuk ukiran. Sebagian orang Arab, khususnya kaum perempuan, mentatoo sebagian besar badannya. Bahkan sementara pengikut-pengikut agama membuatnya tatoo dalam bentuk persembahan dan lambang-lambang agama mereka, misalnya orang-orang Kristen melukis salib di tangan dan dada mereka.

Perbuatan-perbuatan yang rusak ini dilakukan dengan menyiksa dan menyakiti badan, yaitu dengan menusuk-nusukkan jarum pada badan orang yang ditatoo itu. Semua ini menyebabkan laknat, baik terhadap yang mentatoo ataupun orang yang minta ditatoo. Dan yang disebut mengikir gigi, yaitu merapikan dan memendekkan gigi. Biasanya dilakukan oleh perempuan. Karena itu Rasulullah melaknat perempuan-perempuan yang mengerjakan perbuatan ini (tukang kikir) dan minta supaya dikikir. Kalau ada laki-laki yang berbuat demikian, maka dia akan lebih berhak mendapat laknat. Termasuk diharamkan seperti halnya mengikir gigi, yaitu menjarangkan gigi.

Dalam hal ini Rasulullah pernah melaknatnya, yaitu seperti tersebut dalam hadisnya: "Dilaknat perempuan-perempuan yang menjarangkan giginya supaya menjadi cantik, yang mengubah ciptaan Allah." (Riwayat Bukhari dan Muslim) Yang disebut al-Falaj, yaitu meletakkan sesuatu di sela-sela gigi, supaya nampak agak sedikit jarang. Di antara perempuan memang ada yang oleh Allah dicipta demikian, tetapi ada juga yang tidak begitu. Kemudian dia meletakkan sesuatu di sela-sela gigi yang berhimpitan itu, supaya giginya menjadi jarang. Perbuatan ini dianggap mengelabui orang lain dan berlebih-lebihan dalam berhias yang samasekali bertentangan dengan jiwa Islam yang sebenarnya. Dari hadis-hadis yang telah kita sebutkan di atas, maka kita dapat mengetahui tentang hukum operasi kecantikan seperti yang terkenal sekarang karena perputaran kebudayaan badan dan syahwat, yakni kebudayaan Barat materialistis, sehingga banyak sekali perempuan dan laki-laki yang mengorbankan uangnya beratus bahkan beribu-ribu untuk mengubah bentuk hidung, payudara atau yang lain. Semua ini termasuk yang dilaknat Allah dan RasulNya, karena di dalamnya terkandung penyiksaan dan perubahan bentuk ciptaan Allah tanpa ada suatu sebab yang mengharuskan untuk berbuat demikian, melainkan hanya untuk pemborosan dalam hal-hal yang bersifat show dan lebih mengutamakan pada bentuk, bukan inti; lebih mementingkan jasmani daripada rohani. Adapun kalau ternyata orang tersebut mempunyai cacat yang kiranya akan dapat menjijikkan pandangan, misalnya karena ada daging tambah yang dapat menimbulkan sakit secara perasaan ataupun secara kejiwaan kalau daging lebih itu dibiarkan, maka waktu itu tidak berdosa orang untuk berobat selama untuk tujuan demi menghilangkan penyakit yang bersarang dan mengancam hidupnya. Karena Allah tidak menjadikan agama buat kita ini dengan penuh kesukaran.

Barangkali yang memperkuat permasalahan tersebut di atas, yaitu tentang hadis "dilaknat perempuan-perempuan yang menjarangkan giginya supaya cantik" seperti tersebut di atas. Dari hadis itu pula dapat difahamkan, bahwa yang tercela itu ialah perempuan yang mengerjakan hal tersebut semata-mata untuk tujuan keindahan dan kecantikan yang dusta. Tetapi kalau hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan penyakit atau bahaya yang mengancam, maka sedikitpun tidak ada halangan.
Wallahu a'lam!
Sumber: Halal & Haram Dalam Islam karyaDr. Yusuf Al-Qardhawi

Apakah Harus Sholat Jumat ketika Hari Raya Idhul fitri/adha Hari Jum'at

A. Kewajiban Shalat Jumat

Shalat jumat adalah salah satu shalat wajib yang memiliki dasar yang kuat dalam Alquran. Dalam Surat al-Jumu`ah (QS. 62: 9) Allah SWT. berfirman yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan umat Islam (yang beriman) untuk melakukan shalat jumat. Oleh karena itu, setiap orang beriman, baik anak muda maupun sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, pada dasarnya diperintahkan untuk melakukan shalat jumat.

Karena kalimat yang digunakan bersipat umum (yaitu orang-orang beriman), penunjukkan maknanya bersifat zhanni. Oleh karena itu, ia dapat dibatasi cakupan maknanya. Pembatasan cakupan makna dapat dilakukan melalui hadits atau bahkan pendapat ulama yang memiliki argumentasi yang kuat.

Pelaksanaan shalat jumat dipandang wajib antara lain karena dalam Alquran terdapat perintah (fas`aw ila dzikr Allâh). Dalam kaidah ilmu ushul fikih dikatakan bahwa hukum pokok perintah adalah wajib (al-ashl fi al-amr li al-wujûb). Akan tetapi, di samping kaidah kebahasaan, terdapat teks lain sebagai pendukung perintah tersebut, yaitu hadits. Dalam beberapa kitab hadits terdapat penegasan bahwa shalat jumat adalah wajib. Di antara hadits tersebut adalah: (a) Imam al-Nasa`i dalam kitab Sunan al-Nasa`i (1930, III: 89) meriwayatkan dari Hafshah yang menyatakan bahwa shalat jumat adalah wajib (wâjib) bagi setiap muslim yang dewasa; (b) dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan Abi Dawud dari Thariq Ibn Syihab, dikatakan bahwa shalat jumat adalah wajib (haqq wâjib) dan dilakukan dengan berjamaah (Ibânat al-Ahkâm, II: 96). Dua hadits tersebut, secara tekstual atau eksplisit, menyatakan bahwa shalat jumat itu wajib hukumnya; dan (c) kewajiban shalat jumat ditandai dengan kewajiban membayar denda sebagai kafarat bagi orang yang meninggalkan shalat jumat tanpa udzr (Sunan al-Nasa`i, II: 89).

Karena perintah untuk melakukan shalat jumat bersifat umum, keumumannya dibatasi (takhshîsh) oleh hadits. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Thariq Ibn Syihab dikatakan bahwa pelaksanaan shalat jumat adalah wajib kecuali bagi empat kelompok: hamba sahaya (`abd mamlûk); perempuan (imra’at); yang belum dewasa atau bayi (shabiy); dan orang yang sedang sakit (marîdh) (lihat Nayl al-Awthâr, 1347 H., III: 192). Di samping empat orang di atas, dalam hadits riwayat Imam al-Nasa`i dari Ibn `Umar ra. dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “orang yang sedang melakukan perjalanan tidak diwajibkan melaksanakan shalat jumat” (Lihat Bulûgh al-Marâm, t.th: 101). Dengan demikian, yang tidak wajib melakukan shalat jumat adalah hamba sahaya, perempuan, yang belum dewasa, yang sedang sakit, dan yang sedang dalam perjalanan.

B. Ketidakwajiban Melakukan Shalat Jumat pada Hari Raya

Dalam tiga kitab yang sudah disinggung di atas, yaitu kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar al-Asqalani; Subul al-Salâm karya Muhammad Ibn Isma`il al-Kahlani; dan kitab Ibânat al-Ahkâm karya Hasan Sulaiman al-Nuri dan `Alawi `Abbas al-Maliki, sebenarnya terdapat satu hadits yang dijadikan alasan tentang ketidakwajiban melakukan shalat jumat pada hari raya idul fitri dan idul adha bagi orang yang sudah melakukan shalat idul fitri atau idul adha pada hari jumat. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibn Khuzaimah yang diterima dari Zaid Ibn Arqam yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan shalat `id pada hari jumat kemudian beliau memberikan keringanan mengenai shalat jumat dengan bersabda: “yang menghendaki shalat jumat, dipersilahkan untuk melakukannya.”

Dalam kitab Ibânat al-Ahkâm (t.th., II: 86-87), Hasan Sulaiman al-Nuri dan `Alawi `Abbas al-Maliki berkomentar bahwa agama adalah mudah (yusr) dan bagian dari kemudahan tersebut adalah ketidakwajiban melaksanakan shalat jumat bagi yang telah melaksanakan shalat `id pada hari jumat dan yang wajib dilakukan adalah shalat zhuhur. Ini, jelas Hasan Sulaiman al-Nuri dan `Alawi `Abbas al-Maliki, adalah pendapat Imam Ahmad. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya, yakni tetap wajib melaksanakan shalat jumat meskipun telah melaksanakan shalat `id pada hari jumat, alasannya adalah hadits tersebut tidak memadai untuk membatasi keumuman Alquran mengenai kewajiban shalat jumat.

Dalam kitab Subul al-Salâm (t.th., II: 52-53) terdapat komentar yang hampir sama. Akan tetapi, dalam kitab tersebut terdapat riwayat yang mengatakan bahwa Ibn al-Zuber tidak melaksanakan shalat jumat juga tidak melaksanakan shalat zhuhur ketika beliau telah melakukan shalat `id pada hari jumat. Hal ini tergambar dalam riwayat Ibn Zuber yang beliau berkata: “apabila dua shalat `id bersatu (idul fitri atau idul adha dengan shalat jumat) pada hari yang sama, keduanya disatukan dengan melaksanakan shalat dua rakaat pada pagi hari dan tidak shalat lagi sebelum waktu shalat asahr tiba.” (lihat pula Nayl al-Awthâr, III: 239).

Masih dalam kitab Subul al-Salâm (t.th., II: 53), terdapat informasi tentang argumentasi pendapat ulama (antara lain Ibn Zubaer) yang mengatakan bahwa shalat jumat dan shalat zhuhur tidak wajib dilaksanakan apabila telah melakukan shalat `id pada hari jumat. Logika tersebut adalah: pertama, dalam hadits tentang ketidakwajiban melaksanakan shalat jumat setelah pagi harinya melakukan shalt `id (hari raya), tidak terdapat perintah untuk melakukan shalat zhuhur, yang ada hanyalah mempersilahkan shalat jumat bagi yang menghendakinya; dan kedua, shalat jumat adalah pokok (ashl), sedangkan shalat zhuhur adalah pengganti (badal); apabila kewajiban yang pokok telah gugur (masqûth), maka gugur pula gantinya (lihat kaidah fikih yang mengatakan idza saqatha al-ashl saqatha al-far`). Dua alasan itulah yang menjadi argumen ketidakwajiban melaksanakan shalat jumat dan zhuhur setelah melakukan shalat hari raya pada hari jumat..

C. Kualitas Hadits

Perdebatan sekitar ketidakwajiban shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat bersumber pada hadits. Fikih ini dapat dimasukkan sebagai fikih hadits (fiqh al-hadîts) atau fikih sunah. Oleh karena itu, penjelasan mengenai kualitas hadits yang bersangkutan menjadi penting.

Secara pribadi, saya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk men-takhrîj hadits tersebut secara langsung—meskipun secara praktis, saya memiliki pengalaman dalam melakukan penelitain (takhrîj) hadits. Akan tetapi, ada baiknya, pada kesempatan ini diinformasikan mengenai hasil penelitian ulama tentang kualitas hadits tersebut.

Dalam kitab Nayl al-Awthâr (1347 H., j. III: 239-240) karya al-Syaukani terdapat tiga hadits mengenai ketidakwajiban shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat. Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Zaid Ibn Arqam; kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan Abu Dawud dari Abu Hurairah; dan ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa`i dan Abu Dawud Wahab Ibn Kaisan.

Al-Syawkani menyajikan beberapa komentar sebagai berikut: pertama, hadits pertama, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Zaid Ibn Arqam, dalam sanad-nya terdapat seorang rawi yang bernama Ayas Ibn Abi Ramalah; ia termasuk rawi yang majhûl; dan kedua, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, sanad-nya lemah (dha`îf).

D. Pengguguran Jumat dalam Logika Ilmu Fikih

Dalam ilmu fikih terdapat kerangka berpikir yang biasanya disebut sebagai prosedur atau langkah-langkah dalam melakukan ijtihad. Dalam ilmu fikih Syafi`iah terdapat lima tingkatan hukum, yaitu boleh (ibâhat, mubâh), sunah (mandûb), wajib (fardhu), makruh (karâhat), dan haram (tahrîm).

Sebagai telah dijelaskan di atas bahwa kewajiban shalat jumat terdapat dalam Alquran dalam bentuk perintah (al-amr) dan secara eksplisit, kewajiban tersebut dinyatakan dalam hadits dengan lafazh wâjib dan haqq wâjib. Sedangkan hukum pelaksanaan shalat hari raya (idul fitri dan idul adha) adalah sunah mu’akkad berdasarkan hadits (antara lain lihat Fiqh al-Sunat,1983, j. I: 267).

Berdasarkan logika ilmu fikih, pengguguran suatu perintah disebabkan oleh yang lain dapat dilakukan apabila terdapat kesejajaran hukum antara yang menggugurkan dengan yang digugurkan. Umpamanya Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang mandi junub tidak diwajibkan wudhu untuk melakukan shalat; karena antara wudhu dengan mandi junub terdapat kesejajaran hukum, yaitu sama-sama wajib. Oleh karena itu, agak sulit diterima apabila shalat hari raya (sunah) dapat menggugurkan perintah shalat jumat (wajib), karena ketidaksejajaran hukum antara shalat `id dengan shalat jumat. Dari segi ilmu fikih, dalam pengutamaan shalat jumat atas shalat hari raya tersimpul dalam kaidah al-fardh muqaddam `ala al-nafl (yang wajib harus didahulukan atas yang sunah).

E. Penutup

1. Dengan tidak bermaksud menyalahkan pendapat ulama (Ibn al-Zuber dan Imam Ahmad) tentang kebolehan meninggalkan shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat, sebaiknya umat Islam melaksanakan shalat jumat meskipun pada pagi harinya telah melaksanakan shalat idul fitri atau idul adha; karena kewajiban melaksanakan shalat jumat adalah sudah disepakati (al-mutafaq `alayh), sedangkan kebolehan meninggalkan shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat, masih diperdebatkan (al-mukhtalaf fîh). Dalam ilmu fikih terdapat kaidah yang menyatakan bahwa yang disepakati harus diutamakan atas sesuatu yang diperdebatkan (al-mutafaq `alayh muqaddam `ala al-mukhtalaf fîh). Semoga ada manfaatnya, wa Allâh A`lam.

http://ikadabandung.wordpress.com/2007/12/03/shalat-jumat-pada-hari-raya/

2. Keputusan majelis tarjih Muhammadiyah terbaru (2009) bahwa hadits-hadits yang membolehkan tidak melaksanakan sholat Jum'at adalah lemah. Sehingga umat Islam sebaiknya tetap melaksanakan sholat Jum'at

Shalat Tanpa Memahami Makna Bacaannya (sah/ tidak)

Kalau kita menilai dari pertimbangan kaca mata fiqih semata, maka paham tidaknya seseorang atas lafaz bacaan shalatnya itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan sah tidaknya shalat yang dia lakukan. Artinya, memahami arti bacaan shalat tidak termasuk rukun shalat, juga tidak termasuk syarat sahnya shalat, juga tidak termasuk kewajiban shalat, bahkan sunnah-sunnah shalat pun tidak. Sehingga bila ada seorang yang shalat tanpa pernah paham apa yang diucapkannya, asalkan bacaannya benar, tentu shalatnya sudah sah secara fiqih. Dan konsekuensinya, kewajiban shalat atasnya telah gugur, sehingga dia tidak perlu melakukan shalat lagi.

Namun bila kita melihat dari sisi lain, yaitu pendekatan maknawi, maka alangkah rugi dan asingnya seorang yang shalat tapi tidak paham apa yang dibacanya. Sebab shalat itu sendiri sebuah dialog antara seorang hamba dengan tuhannya. Secara bahasa, shalat itu berarti doa. Dan doa itu adalah lafaz yang diucapkan untuk meminta sesuatu. Bisakah anda bayangkan tentang seseorang yang berdoa memohon sesuatu, sambil mulutnya komat-kamit, namun dia tidak pernah mengerti apa yang diucapkannya. Betapa aneh perilaku seperti itu bukan?

Dan yang pasti, shalat seseorang yang tidak mengerti apa yang diucapkannya adalah shalat yang hambar. Sebab semua dialog yang diucapkannya itu justru sama sekali tidak dipahaminya. Wajar saja bila doa dan dialog yang demikian kurang mendapatkan respon. Apalagi bila perbuatan itu adalah shalat seorang hamba kepada tuhannya.
Itulah barangkali salah satu faktor mengapa banyak shalat kita yang lakukan ini terasa kurang khusyu' dan kurang meresap. Sebabnya tidak lain adalah karena kita melafazkan sesuatu yang kita sendiri tidak paham maknanya. Dan barangkali pula hal itu juga yang menyebabkan seringkali kita berperilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, meski kita sering shalat 5 waktu. Ternyata shalat yang kita lakukan itu tanpa makna, dalam arti kita paham maknanya. Sehingga sulit untuk bisa meresapi prinsip-prinsip untuk menjadi seorang muslim yang baik.

Maka jalan yang paling baik adalah kita belajar untuk mengerti kata demi kata lafaz bacaan shalat kita. Mulai dari takbiratul ihram, doa istiftah (iftitah), bacaan surat Al-Fatihah, bacaan ayat-ayat Al-Quran setelah surat Al-Fatihah, lafaz bacaan tatkala ruku', i'tidal, sujud, duduk antara dua sujud, tahiyat awal dan tahiyat akhir. Sebenarnya bila semua lafaz itu kita kumpulkan menjadi satu, tidak terlalu panjang. apalagi lafaz-lafaz itu sudah kita hafal luar kepala, bukan? Maka hampir tidak alasan buat kita untuk tidak paham artinya.

Namun yang lebih penting dari memahami arti bacaan shalat menurut kami adalah bagaimana saat melafazkannya itu, kita benar-benar menghadirkan makna bacaan itu sepenuh kesadaran. Kalau kita sebut kata "Allahu Akbar", maka kita yakin sekali bahwa hanya Allah SWT saja yang Maha Besar. Semua yang selain Allah itu menjadi sangat kecil tak berarti. Jabatan, kekayaan, kesibukan pekerjaan, anak, istri dan apapun menjadi kecil. Hanya Allah SWT saja yang besar dan saat ini Aku dengan berada di hadapan-Mu, Wahai Yang Maha Besar.

Ketika kita mengucapkan lafaz tahiyat, begitu sampai kepada lafaz Asyhadu Anla Ilaaha Illallah, maka kita yakin bahwa memang tidak ada tuhan (sembahan dalam bentuk apapun) kecuali hanya Allah SWT saja. Tidak ada yang dicintai, tidak ada ditakuti, tidak ada yang ditaati, tidak ada yang diagungkan, tidak ada yang dirindukan, tidak ada yang diikuti, tidak ada yang diharapkan, tidak ada yang diandalkan, tidak ada yang dipasrahkan segala urusan kecuali hanya Allah semata.
Ketika kita sampai kepada lafaz "Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah", maka kita yakin bahwa Muhammad SAW itu bukan sekedar orang pintar, bukan sekedar tokoh sejarah, bukan sekedar pemimpin, bukan sekedar sosok agung, bukan sekedar orang yang berkharisma, tetapi dia adalah manusia yang mendapatkan wahyu secara resmi dari langit (Allah SWT) dan membawa pesan-pesan langit untuk diikuti dan dipegang teguh.

Kita yakin bahwa semua yang disampaikannya adalah sebuah manhajul hayah (the way of life) bagi seluruh jenis ras manusia.
Kita yakin bahwa semua agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya sudah batal dan tidak lagi berlaku kecuali agama yang dibawanya.
Kita yakin bahwa tidak ada lagi nabi atau siapapun yang menerima wahyu sepeninggalnya.

Kita yakin bahwa dirinya adalah sumber ajaran Islam, dimana kita diharamkan melakukan segala macam bentuk ritual peribadatan kecuali atas dasar perintah dan ajaran yang disampaikannya dari Allah.
Kita yakin bahwa beliau adalah satu-satunya "agen tuhan" di alam semesta ini yang menjadi rujukan kebenaran atas segala macam tata nilai yang pernah dikenal manusia.
Kita yakin bahwa segala macam isme, doktrin, pemikiran, filsafat, logika, ideliasme, tata nilai, undang-undang dan ajaran yang tidak bersumber dari apa yang diajarkannya adalah batil dan jahiliyah.
Kita yakin bahwa risalah yang dibawanya kekal dan tetap berlaku dimana pun dan kapanpun hingga matahari terbit dari barat. Bahwa sosok dirinya adalah suri tauladan utama bagi kita.

Dan demikianlah, seharusnya shalat kita itu bisa menjadi sangat berarti manakala kita memang memahami maknanya dan khusyu' menjalankannya. Semoga Allah memberikan kita hidayah dan menjadi kita orang-orang yang beribadah kepada-Nya dengan sepenuh penjiwaan. Amien.

Adab dan tata cara meminang/melamar dalam Islam Menurut Nabi SAW(Wanita melamar laki-laki)

1. Melihat calon/ wanita.

Melihat yang dimaksudkan disini adalah meliht diri wanita yang ingin dinikahi dengan tetap berpanutan pada aturan syar’i ”Dari Anas bin Malik, ia berkata,”Mughirah bin Syu’bah berkeinginan untuk menikahi seorang perempuan. Lalu rasulullah Saw. Bersabda,”Pergilah untuk melihat perempuan itu karena dengan melihat itu akan memberikan jalan untuk dapat lebih membina kerukunan antara kamu berdua”. Lalu ia melihatnya, kemudian menikahi perempuan itu dan ia menceritakan kerukunannya dengan perempuan itu.(HR. Ibnu Majah: dishohihkan oleh Ibnu Hibban, dan beberap hadits sejenis juga ada misalnya diriwayatkan Oleh Tirmidzi dan Imam Nasai))

2. Tidak melamar wanita yang telah dilamar Lelaki lain (meskipun belum memberi jawaban). Meminang/melamar ini berarti melamar secara resmi. Dari Abu Hurairah, Ia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”Seorang lelaki tidak boleh meminang perempuan yang telah dipinang saudaranya”(HR. Ibnu Majah)


3. Merahasiakan pelamarannya (tidak mengumumkan ke orang banyak)
Dari Ummu Salamah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Kumandangkanlah pernikahan dan rahasiakanlah peminangan”.

4. Wanita yang dilamar terbebas dari segala mawani` (pencegah) dari sebuah pernikahan.
Misalnya wanita itu sedang menjadi istri seseorang. Atau wanita itu sudah dicerai atau ditinggal mati suaminya, namun masih dalam masa `iddah. Selain itu wanita yang dilamar tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang masih menjadi mahram bagi seorang laki-laki. Maka di dalam Islam tidak dikenal ada seorang laki-laki meminang adiknya sendiri, atau ibunya sendiri atau bibinya sendiri.

5. Wanita melamar laki-laki Secara syar’i tidak masalah.
”Dari Tsabit, ia berkata,”Kami duduk bersama dengan Anas bin Malik yang disebelahnya ada seorang anak perempuannya. Lalu Anas berkata,” datanglah seorang perempuan kepada Nabi SAW, lalu ia menawarkan dirinya kepada beliau, kemudian perempuan itu berkata,”Wahai Rasulullah maukah tuan mengambil diriku? Kemudian anak perempuan Anas menyeletuk,”Betapa tidak malunya perempu itu!” Lalu Anas menjawab,”Perempuan itu lebih baik daripada kamu”. Ia menginginkan rasulullah, karena itu ia menawarkan dirinya kepada beliau”. (HR. Ibnu Majah).
Hal ini menunjukkan betapa hukum Islam sangat menjunjung tinggi hak wanita. Mereka tidak hanya berhak dilamar tetapi juga memiliki hak untuk melamar lelaki yang disukainya.

Untuk lebih lengkapnya silakan membaca buku kisah sejati: MENIKAH DALAM 27 HARI tulisan Muhammad Adzdzikra Penerbit Lingkar Pena