Jumat, 29 Januari 2010

Syahid di Tiang Gantungan

Omar Al-Mokhtar memang dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan Italia bagi rakyat Libya. Sejak Italia mulai menancapkan cengkeramannya di negeri tersebut pada Oktober 1911. Ia telah menjadi pionir untuk menyalakan bara perjuangan rakyat Libya.

----------

Lelaki renta itu melangkah menuju tiang gantungan. Kedua tangannya terbelenggu namun matanya masih tetap berbinar. Raut mukanya tak menampakkan rasa takut sedikit pun. Ia begitu gagah walaupun maut tengah merambat mendekatinya.

Suasana sendu justru menyergap orang-orang di sekelilingnya. Mereka menatap lelaki berusia 80 tahun itu, dengan wajah muram. Air mata tak dapat mereka bendung pula. Bahkan beberapa saat kemudian, jerit tangis bersahutan.

Tatkala mereka melihat lingkaran tali tiang gantungan, menjerat leher pahlawan mereka, Omar Al-Mokhtar. Singa Padang Pasir itu, berpulang ke Rahmatullah, pada 16 September 1931 di Kota Solouq. Usai sudah perjuangannya melawan penjajahan Italia.

Omar Al-Mokhtar memang dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan Italia bagi rakyat Libya. Sejak Italia mulai menancapkan cengkeramannya di negeri tersebut pada Oktober 1911. Ia telah menjadi pionir untuk menyalakan bara perjuangan rakyat Libya.

Gelora perjuangannya juga merambat kepada rakyat Libya lainnya, dan melahirkan para mujahid seperti Ramadan As-Swaihli, Mohammad Farhat Az-Zawi, Al-Fadeel Bo-Omar, Solaiman Al-Barouni dan Silima An-Nailiah.

Usaha Italia menguasai Libya, dilakukan dengan menyerang dan menguasai kota-kota pantai seperti Tripoli, Benghazi, Misrata dan Derna secara beruntun. Meski demikian, Omar kerap menjadi batu sandungan mereka. Ia mampu membangkitkan semangat perjuangan rakyat Libya.

Perlawanan mereka telah menciptakan sejumlah pertempuran hebat. Misalnya pertempuran yang terjadi di Al-Hani dekat Tripoli pada 23 Oktober 1911, Ar-Rmaila dekat Misrata, Al-Fwaihat dekat Benghazi pada Maret 1912 dan Wadi Ash-Shwaer dekat Derna.

Bahkan tak jarang perjuangan rakyat Libya menuai hasil gemilang. Kala itu, mereka terlibat dalam pertempuran besar di Al-Gherthabiya, dekat Sirt pada April 1915. Italia kehilangan ribuan serdadu. Pertempuran semacam ini sering terjadi, membuat Italia harus melalui tahun demi tahun untuk menguasai negeri ini.

Meski pada akhirnya, wilayah-wilayah yang dipertahankan oleh para mujahidin jatuh pula ke tangan penjajah. Jatuhnya wilayah demi wilayah membuat para pejuang meninggalkan rumahnya dan menuju ke pegunungan. Mereka tak berdiam diri, namun merencanakan beragam serangan lanjutan.

Pada 1922 Omar mengorganisir para mujahidin dan mengobarkan kembali perlawanan terhadap pendudukan Italia atas negerinya. Ia mengumpulkan kembali mujahidin di The Green Mountain (Aj-Jabal Al-Akdar), bagian Tenggara Libya. Hal itu terjadi setelah Perang Dunia I ketika Italia berpikir telah mampu meredam sepenuhnya perlawanan rakyat Libya.

Perlawanan yang kembali mencuat membuat otoritas Italia merasakan bahaya yang mengancam. Mereka tak mau membiarkan perlawanan semakin merajalela. Lalu pemerintah pusat Italia Badolio yang terkenal haus darah untuk meredam bara perlawanan tersebut.

Ia tak hanya mendapatkan tugas memimpin pertempuran untuk menumpas Omar Al-Mokhtar dan pasukannya. Bahkan ia pun diizinkan untuk membunuh rakyat jelata yang hidup tenang baik di desa maupun pegunungan hanya karena di anggap membantu para mujahidin.

Beberapa saat kemudian, sang diktator, Musolini, juga mengirimkan komandan yang berperilaku seperti Badolio. Ia mengemban tugas yang sama untuk mengenyahkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa dan tak lupa menumpas gerakan mujahidin.

Dan Musolini berpikir bahwa untuk menyelesaikan masalah Libya secara tuntas adalah Rodolfo Grasiani. Bahkan kepada kabinetnya Musolini menyatakan kedatangan Grasiani kelak membuat suasana di Libya dapat terkontrol sepenuhnya.

Kala itu, Grasiani setuju pergi ke Libya dengan catatan tak ada aturan yang dapat membelenggunya dalam melakukan berbagai tindakan di Libya. Bahkan peraturan internasional sekalipun. Sebelum ditugaskan ke Libya, ia pergi ke Morj, Switzerland untuk merencanakan serangan terhadap Libya.

Rancangan Grasiani tentu saja disetujui sepenunya oleh Musolini. Pasalnya, ia berpegang pada prinsip ''jika tak bersamaku maka kalian adalah lawanku''. Dengan demikian untuk menguasai Libya segala cara harus dihalalkan tak peduli akan mengorbankan banyak jiwa yang tak berdosa.

Rencana pertama Grasiani adalah mengisolir Libya serta mencegah adanya kontak baik langsung maupun tak langsung dengan mujahidin dan negara tetangganya yang memasok senjata dan informasi kepada para pejuang Libya. Ia membangun kawat berduri sepanjang 300 km, tinggi 2 meter dan lebar 3 meter dari pelabuhan Bardiyat Slaiman Libya Utara sampai Al-Jagboub Libya Tenggara.

Rencana lainnya adalah membangun kamp konsentrasi di mana ribuan warga Libya harus hidup dalam pengawasan angkatan perang Italia. Ia membangun kamp konsentrasi di Al-Aghaila, Al-Maghroun, Solouq, dan Al-Abiyar.

Pada akhir November 1929 semua warga Libya yang hidup di tenda di Al-Jabal Al-Akdar, Mortaf-Aat Al-Thahir dari Beneena Utara sampai Ash-Shlaithemiya Selatan, dari Tawkera ke bagian selatan padang pasir Balt Abdel-Hafeeth, digiring untuk hidup di kamp-kamp konsentrasi.

Kehidupan rakyat Libya di kamp sangat mengerikan. Bahkan ribuan warga Libya mati kelaparan. Tak jarang pula mereka mati karena ditembak atau digantung sebab diyakini membantu perjuangan para mujahidin.

Pada 1933, Ketua Departemen Kesehatan Angkatan Darat Italia, Dr Todesky menuliskan dalam bukunya bertajuk Cerinaica Today. Dalam bukunya itu ia menyebutkan bahwa dari Mei sampai September 1930, lebih dari 80 ribu warga Libya dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya dan hidup di kamp konsentrasi.

Iring-iringan warga Libya yang berjumlah 300 orang sekali jalan, mendapat kawalah ketat dari militer Italia. Todesky melanjutkan bahwa pada akhir 1930 semua warga Libya yang hidup di tenda-tenda dipaksa untuk hidup di kamp konsentrasi. Sebanyak 55 persen dari 80 ribu warga Libya meninggal di kamp konsentrasi tersebut.

Seorang sejarawan Libya, Mahmoud Ali At-Taeb menyatakan bahwa pada November 1930 paling tidak terdapat 17 pemakaman dalam sehari terjadi di kamp konsetrasi akibat kelaparan, penyakit, dan depresi.

Di luar kamp konsentrasi, mujahidin yang bertahan di daerah pegunungan terus berjuang melawan penjajahan Italia. Namun pada 1931 mujahidin kehabisan bahan pangan dan amunisi. Pimpinan mujahidin, Omar Al-Mokhtar, sakit-sakitan dan banyak mujadihin memintanya untuk berhenti dan meninggalkan negeri tersebut. Namun ia menolak tawaran tersebut dan tetap mengobarkan perjuangan.

Atas kegigihannya melawan penjajahan Italia tak heran jika ia dijuluki sebagai 'Singa Padang Pasir'. Meski akhirnya, usia senja tak mampu membuatnya bertahan untuk memanggul senjata. Ia ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Eksekusi tetap dilakukan tanpa mempertimbangkan kerentaan Omar Al-Mokhtar dan hukum internasional.

Semakin redupnya bara perlawanan, membuat Italia akhirnya dapat menguasai Libya setelah melakukan pertempuran selama 20 tahun. Meski Italia hanya mampu berkuasa di sana hingga 1943 akibat kekalahannya di Perang Dunia II. Libya kemudian berada di bawah kekuasaan pasukan sekutu hingga 24 Desember 1951.

(Republika Online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar