Kamis, 04 Maret 2010

Apakah Harus Sholat Jumat ketika Hari Raya Idhul fitri/adha Hari Jum'at

A. Kewajiban Shalat Jumat

Shalat jumat adalah salah satu shalat wajib yang memiliki dasar yang kuat dalam Alquran. Dalam Surat al-Jumu`ah (QS. 62: 9) Allah SWT. berfirman yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan umat Islam (yang beriman) untuk melakukan shalat jumat. Oleh karena itu, setiap orang beriman, baik anak muda maupun sudah tua, baik laki-laki maupun perempuan, pada dasarnya diperintahkan untuk melakukan shalat jumat.

Karena kalimat yang digunakan bersipat umum (yaitu orang-orang beriman), penunjukkan maknanya bersifat zhanni. Oleh karena itu, ia dapat dibatasi cakupan maknanya. Pembatasan cakupan makna dapat dilakukan melalui hadits atau bahkan pendapat ulama yang memiliki argumentasi yang kuat.

Pelaksanaan shalat jumat dipandang wajib antara lain karena dalam Alquran terdapat perintah (fas`aw ila dzikr Allâh). Dalam kaidah ilmu ushul fikih dikatakan bahwa hukum pokok perintah adalah wajib (al-ashl fi al-amr li al-wujûb). Akan tetapi, di samping kaidah kebahasaan, terdapat teks lain sebagai pendukung perintah tersebut, yaitu hadits. Dalam beberapa kitab hadits terdapat penegasan bahwa shalat jumat adalah wajib. Di antara hadits tersebut adalah: (a) Imam al-Nasa`i dalam kitab Sunan al-Nasa`i (1930, III: 89) meriwayatkan dari Hafshah yang menyatakan bahwa shalat jumat adalah wajib (wâjib) bagi setiap muslim yang dewasa; (b) dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan Abi Dawud dari Thariq Ibn Syihab, dikatakan bahwa shalat jumat adalah wajib (haqq wâjib) dan dilakukan dengan berjamaah (Ibânat al-Ahkâm, II: 96). Dua hadits tersebut, secara tekstual atau eksplisit, menyatakan bahwa shalat jumat itu wajib hukumnya; dan (c) kewajiban shalat jumat ditandai dengan kewajiban membayar denda sebagai kafarat bagi orang yang meninggalkan shalat jumat tanpa udzr (Sunan al-Nasa`i, II: 89).

Karena perintah untuk melakukan shalat jumat bersifat umum, keumumannya dibatasi (takhshîsh) oleh hadits. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Thariq Ibn Syihab dikatakan bahwa pelaksanaan shalat jumat adalah wajib kecuali bagi empat kelompok: hamba sahaya (`abd mamlûk); perempuan (imra’at); yang belum dewasa atau bayi (shabiy); dan orang yang sedang sakit (marîdh) (lihat Nayl al-Awthâr, 1347 H., III: 192). Di samping empat orang di atas, dalam hadits riwayat Imam al-Nasa`i dari Ibn `Umar ra. dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “orang yang sedang melakukan perjalanan tidak diwajibkan melaksanakan shalat jumat” (Lihat Bulûgh al-Marâm, t.th: 101). Dengan demikian, yang tidak wajib melakukan shalat jumat adalah hamba sahaya, perempuan, yang belum dewasa, yang sedang sakit, dan yang sedang dalam perjalanan.

B. Ketidakwajiban Melakukan Shalat Jumat pada Hari Raya

Dalam tiga kitab yang sudah disinggung di atas, yaitu kitab Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar al-Asqalani; Subul al-Salâm karya Muhammad Ibn Isma`il al-Kahlani; dan kitab Ibânat al-Ahkâm karya Hasan Sulaiman al-Nuri dan `Alawi `Abbas al-Maliki, sebenarnya terdapat satu hadits yang dijadikan alasan tentang ketidakwajiban melakukan shalat jumat pada hari raya idul fitri dan idul adha bagi orang yang sudah melakukan shalat idul fitri atau idul adha pada hari jumat. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibn Khuzaimah yang diterima dari Zaid Ibn Arqam yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan shalat `id pada hari jumat kemudian beliau memberikan keringanan mengenai shalat jumat dengan bersabda: “yang menghendaki shalat jumat, dipersilahkan untuk melakukannya.”

Dalam kitab Ibânat al-Ahkâm (t.th., II: 86-87), Hasan Sulaiman al-Nuri dan `Alawi `Abbas al-Maliki berkomentar bahwa agama adalah mudah (yusr) dan bagian dari kemudahan tersebut adalah ketidakwajiban melaksanakan shalat jumat bagi yang telah melaksanakan shalat `id pada hari jumat dan yang wajib dilakukan adalah shalat zhuhur. Ini, jelas Hasan Sulaiman al-Nuri dan `Alawi `Abbas al-Maliki, adalah pendapat Imam Ahmad. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya, yakni tetap wajib melaksanakan shalat jumat meskipun telah melaksanakan shalat `id pada hari jumat, alasannya adalah hadits tersebut tidak memadai untuk membatasi keumuman Alquran mengenai kewajiban shalat jumat.

Dalam kitab Subul al-Salâm (t.th., II: 52-53) terdapat komentar yang hampir sama. Akan tetapi, dalam kitab tersebut terdapat riwayat yang mengatakan bahwa Ibn al-Zuber tidak melaksanakan shalat jumat juga tidak melaksanakan shalat zhuhur ketika beliau telah melakukan shalat `id pada hari jumat. Hal ini tergambar dalam riwayat Ibn Zuber yang beliau berkata: “apabila dua shalat `id bersatu (idul fitri atau idul adha dengan shalat jumat) pada hari yang sama, keduanya disatukan dengan melaksanakan shalat dua rakaat pada pagi hari dan tidak shalat lagi sebelum waktu shalat asahr tiba.” (lihat pula Nayl al-Awthâr, III: 239).

Masih dalam kitab Subul al-Salâm (t.th., II: 53), terdapat informasi tentang argumentasi pendapat ulama (antara lain Ibn Zubaer) yang mengatakan bahwa shalat jumat dan shalat zhuhur tidak wajib dilaksanakan apabila telah melakukan shalat `id pada hari jumat. Logika tersebut adalah: pertama, dalam hadits tentang ketidakwajiban melaksanakan shalat jumat setelah pagi harinya melakukan shalt `id (hari raya), tidak terdapat perintah untuk melakukan shalat zhuhur, yang ada hanyalah mempersilahkan shalat jumat bagi yang menghendakinya; dan kedua, shalat jumat adalah pokok (ashl), sedangkan shalat zhuhur adalah pengganti (badal); apabila kewajiban yang pokok telah gugur (masqûth), maka gugur pula gantinya (lihat kaidah fikih yang mengatakan idza saqatha al-ashl saqatha al-far`). Dua alasan itulah yang menjadi argumen ketidakwajiban melaksanakan shalat jumat dan zhuhur setelah melakukan shalat hari raya pada hari jumat..

C. Kualitas Hadits

Perdebatan sekitar ketidakwajiban shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat bersumber pada hadits. Fikih ini dapat dimasukkan sebagai fikih hadits (fiqh al-hadîts) atau fikih sunah. Oleh karena itu, penjelasan mengenai kualitas hadits yang bersangkutan menjadi penting.

Secara pribadi, saya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk men-takhrîj hadits tersebut secara langsung—meskipun secara praktis, saya memiliki pengalaman dalam melakukan penelitain (takhrîj) hadits. Akan tetapi, ada baiknya, pada kesempatan ini diinformasikan mengenai hasil penelitian ulama tentang kualitas hadits tersebut.

Dalam kitab Nayl al-Awthâr (1347 H., j. III: 239-240) karya al-Syaukani terdapat tiga hadits mengenai ketidakwajiban shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat. Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Zaid Ibn Arqam; kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan Abu Dawud dari Abu Hurairah; dan ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa`i dan Abu Dawud Wahab Ibn Kaisan.

Al-Syawkani menyajikan beberapa komentar sebagai berikut: pertama, hadits pertama, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Zaid Ibn Arqam, dalam sanad-nya terdapat seorang rawi yang bernama Ayas Ibn Abi Ramalah; ia termasuk rawi yang majhûl; dan kedua, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, sanad-nya lemah (dha`îf).

D. Pengguguran Jumat dalam Logika Ilmu Fikih

Dalam ilmu fikih terdapat kerangka berpikir yang biasanya disebut sebagai prosedur atau langkah-langkah dalam melakukan ijtihad. Dalam ilmu fikih Syafi`iah terdapat lima tingkatan hukum, yaitu boleh (ibâhat, mubâh), sunah (mandûb), wajib (fardhu), makruh (karâhat), dan haram (tahrîm).

Sebagai telah dijelaskan di atas bahwa kewajiban shalat jumat terdapat dalam Alquran dalam bentuk perintah (al-amr) dan secara eksplisit, kewajiban tersebut dinyatakan dalam hadits dengan lafazh wâjib dan haqq wâjib. Sedangkan hukum pelaksanaan shalat hari raya (idul fitri dan idul adha) adalah sunah mu’akkad berdasarkan hadits (antara lain lihat Fiqh al-Sunat,1983, j. I: 267).

Berdasarkan logika ilmu fikih, pengguguran suatu perintah disebabkan oleh yang lain dapat dilakukan apabila terdapat kesejajaran hukum antara yang menggugurkan dengan yang digugurkan. Umpamanya Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang mandi junub tidak diwajibkan wudhu untuk melakukan shalat; karena antara wudhu dengan mandi junub terdapat kesejajaran hukum, yaitu sama-sama wajib. Oleh karena itu, agak sulit diterima apabila shalat hari raya (sunah) dapat menggugurkan perintah shalat jumat (wajib), karena ketidaksejajaran hukum antara shalat `id dengan shalat jumat. Dari segi ilmu fikih, dalam pengutamaan shalat jumat atas shalat hari raya tersimpul dalam kaidah al-fardh muqaddam `ala al-nafl (yang wajib harus didahulukan atas yang sunah).

E. Penutup

1. Dengan tidak bermaksud menyalahkan pendapat ulama (Ibn al-Zuber dan Imam Ahmad) tentang kebolehan meninggalkan shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat, sebaiknya umat Islam melaksanakan shalat jumat meskipun pada pagi harinya telah melaksanakan shalat idul fitri atau idul adha; karena kewajiban melaksanakan shalat jumat adalah sudah disepakati (al-mutafaq `alayh), sedangkan kebolehan meninggalkan shalat jumat setelah melaksanakan shalat hari raya pada hari jumat, masih diperdebatkan (al-mukhtalaf fîh). Dalam ilmu fikih terdapat kaidah yang menyatakan bahwa yang disepakati harus diutamakan atas sesuatu yang diperdebatkan (al-mutafaq `alayh muqaddam `ala al-mukhtalaf fîh). Semoga ada manfaatnya, wa Allâh A`lam.

http://ikadabandung.wordpress.com/2007/12/03/shalat-jumat-pada-hari-raya/

2. Keputusan majelis tarjih Muhammadiyah terbaru (2009) bahwa hadits-hadits yang membolehkan tidak melaksanakan sholat Jum'at adalah lemah. Sehingga umat Islam sebaiknya tetap melaksanakan sholat Jum'at

Tidak ada komentar:

Posting Komentar