Kamis, 04 Maret 2010

PRIORITAS FARDHU ATAS SUNNAH DAN NAWAFIL

Ada perkara yang diperintahkan dalam bentuk sunnah dan mustahab. Ada perkara yang diperintahkan dalam bentuk fardhu dan kewajiban. Dan ada pula perkara yang berada di antara kedua hal itu, yakni perkara yang berada di atas mustahab, tetapi dia berada di bawah fardhu; yang oleh para fuqaha disebut dengan wajib. Berkaitan dengan fiqh prioritas ini, kita harus mendahulukan hal yang paling wajib atas hal yang wajib, mendahulukan hal yang wajib atas mustahab, dan kita perlu menganggap mudah hal-hal yang sunnah dan mustahab serta harus mengambil berat terhadap hal-hal yang fardhu dan wajib.

Kita mesti menekankan lebih banyak terhadap perkara-perkara fardhu yang mendasar daripada perkara yang lainnya; khususnya shalat dan zakat yang merupakan dua macam fardhu yang sangat mendasar, yang selalu digandengkan penyebutannya di dalam al-Qur'an pada dua puluh delapan tempat; dan juga banyak sekali hadits yang menyebutkan kedua hal ini. Antara lain: Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a. bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Islam itu dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa di hari Ramadhan." (Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan)

Diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah r.a. berkata, "Ada seorang lelaki penduduk Najed yang datang kepada Rasulullah saw dengan kepala terbuka. Kami mendengar suara dengungannya tetapi tidak dapat menangkap apa yang dia katakan. Sehingga kami mendekatkan diri kepada Rasulullah saw. Ternyata dia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah saw bersabda, "Shalat lima waktu sehari semalam." Dia bertanya lagi, "Apakah ada kewajiban lain atas diriku selain itu?" Beliau menjawab, "Tidak, kecuali bila engkau hendak melaksanakan yang sunnah." Kemudian Rasulullah saw menyebutkan zakat kepadanya, lalu dia bertanya lagi: "Apakah ada kewajiban lain atas diriku selain itu?" Beliau menjawab, "Tidak, kecuali bila engkau hendak melaksanakan yang sunnah." Kemudian lelaki itu kembali lagi ke tempat asalnya sambil berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menambah dan menguranginya." Maka Rasulullah saw bersabda, "Dia akan mendapatkan keberuntungan kalau yang dia katakan itu benar."" (Muttafaq 'Alaih) (al-Lu'lu' wal-Marjan, hadits 6)

Diriwayatkan dari Ibn Abbas r. a. berkata bahwasanya Nabi saw mengutus Mu'adz r.a. untuk pergi ke Yaman, beliau saw bersabda kepadanya, "Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah. Apabila mereka mematuhi dirimu dalam perkara ini, maka beritakanlah kepada mereka bahwasanya Allah telah memfardhukan shalat lima waktu sehari semalam. Dan apabila mereka mentaati dirimu dalam perkara ini, maka beritakanlah kepada mereka bahwa Allah SWT telah memfardhukan kepada mereka untuk membayar zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka." (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Ibn Umar r. a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku telah diperintahkan untuk memerangi orang-orang sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat. Jika mereka telah melaksanakan perkara-perkara itu, berarti mereka telah melindungi darah dan harta benda mereka dari diriku. Dan Allah SWT akan menghitung apa yang telah mereka lakukan." (Muttafaq 'Alaih) Diriwayatkan dan Abu Hurairah r.a. berkata, "Ketika Rasulullah saw wafat dan Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, ada di antara orang-orang Arab yang menjadi kafir kembali, maka Umar r.a. berkata, 'Bagaimanakah kalau kita memerangi orang-orang itu karena Rasulullah saw telah bersabda, 'Aku telah diperintakkan untuk memerangi orang-orang sehingga mereka mengucapkan bahwa tiada tuhan selain Allah. Maka barangsiapa yang mengatakannya maka dia telah melindungi harta dan jiwanya dari diriku, dan Allah akan memperhitungian segala amal perbuatannya.'?' Maka Abu Bakar menjawab 'Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Karena sesungguhnya zakat adalah hak harta benda. Demi Allah, kalau mereka enggan memberikan seekor unta yang dahulu pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw maka aku akan memerangi mereka, karena keengganan itu.' Umar berkata, 'Demi Allah, itu tidak lain kecuali bahwa aku telah melihat Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk melakukan peperangan itu, dan aku betul-betul mengetahuinya.'" (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Abu Ayyub r.a., ia berkata bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi saw kemudian dia berkata kepada Nabi saw, "Beritahukanlah kepadaku amalan yang dapat membuatku masuk surga." Nabi saw bersabda, "Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu selain Dia, dirikan shalat, bayar zakat dan jalinlah silaturahim." (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa ada seorang lelaki Arab Badui datang kepada Nabi saw sambil berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku amalan yang apabila aku melakukannya, aku akan masuk surga." Rasulullah saw menjawab, "Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dirikan shalat fardhu, bayarlah zakat fardhu, dan berpuasalah pada bulan Ramadhan." Kemudian lelaki itu berkata, "Demi yang diriku berada di tangan-Nya, aku tidak akan menambah atau menguranginya. "Ketika orang itu kembali lagi ke tempat asalnya, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang ingin melihat lelaki penghuni surga, maka hendaklah dia melihat orang ini." (Muttafaq 'Alaih) Hadits ini dan hadits Thalhah di atas menunjukkan bahwa perkara-perkara fardhu ini adalah dasar amalan agama.

Barangsiapa mengerjakannya dengan sempurna, tidak menguranginya sedikitpun, berarti dia telah membuka pintu surga, walaupun dia tidak mengerjakan amalan-amalan sunnah di luar fardhu itu. Ajaran yang diterapkan oleh Nabi saw ketika beliau mengajar para sahabatnya ialah memusatkan perhatian terhadap rukun dan dasar, dan bukan menekankan perhatian terhadap perkara-perkara kecil, parsial, yang tidak akan ada habisnya.
Referensi: Fiqh Prioritas karya Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar