Kamis, 04 Maret 2010
Bagaimana Menafsirkan Al-Quran?
"Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah, tentu mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82) Dalam Al-Quran tidak ada satu pertentangan pun. Andaikata secara selintas tampak ada pertentangan, maka pertentangan itu akan sirna dengan merenungkan Al-Quran itu sendiri. Seandainya dalam menjelaskan maksud-maksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang lain, maka kedudukannya sebagai hujah tidak akan sempurna. Karena andaikata seorang kafir menemukan suatu pertentang¬an dalam Al-Quran yang tidak dapat dihilangkan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain Al-Quran itu sendiri, maka ia tidak akan dapat menerima dihilangkannya pertentangan itu melalui jalan lain, dengan menggunakan hadits, umpamanya. Hal itu dikarenakan orang kafir tidak mempercayai kebenaran Nabi dan tidak mem¬percayai kenabian serta kesuciannya, sehingga ia akan menolak pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan sia-sia bila Nabi men¬jelaskan untuk menghilangkan pertentangan-pertentangan dalam AI-Quran tanpa menggunakan bukti verbal dari Al-Quran itu sen¬diri kepada orang yang tidak mempercayai kenabian dan kesuci¬annya. Dan ayat di atas memang ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak mau menerima sabda-sabda beliau jika tidak ada bukti kuat dari Al-Quran sendiri. Kita pun mengetahui bahwa Al-Quran sen¬diri mengabsahkan sabda dan penafsiran Nabi. Begitu pula, Nabi mengabsahkan sabda dan penafsiran Ahlul Baitnya. Dari dua pernyataan ini dapat kami simpulkan bahwa di dalam AI-Quran ada sebagian ayat yang dapat dijelaskan dengan ayat¬ayat yang lain, dan kedudukan Rasulullah serta keluarga beliau berkenaan dengan Al-Quran adalah sebagai guru dan pembimbing suci yang tidak akan ada kekeliruan atau kesalahan dalam ajaran¬ajaran dan petunjuk-petunjuk mereka. Oleh karena itu, penafsiran mereka adalah sesuai dengan penafsiran yang dibuat dari memadu¬kan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Penafsiran yang realistis terhadap Al-Quran merupakan penafsiran yang bersumber dari perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran dan pemaduan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Lebih jelasnya, dalam menafsirkan Al-Quran, kita dapat menempuh salah satu dari tiga jalan berikut: 1. Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah atau non¬ilmiah yang kita miliki. 2. Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Imam-imam suci. 3. Menafsirkan suatu ayat dengan jalan merenungkan dan meng¬kaji ayat itu dan ayat lain yang berkaitan, dan dengan bantuan hadits-hadits. Nabi bersabda: "Sesungguhnya sebagian ayat membenarkan sebagian yang lain. " Ali berkata: "Al-Quran, sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain, dan sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. " "Barangsiapa menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya, maka dia telah mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. " Jalan pertama tidak boleh diikuti. Sebab, pada hakikatnya ia merupakan penafsiran dengan menggunakan pendapat pribadi. Adapun jalan kedua adalah jalan yang digunakan oleh para ulama tafsir pada periode awal, dan telah dipraktekkan selama beberapa abad. Jalan itu adalah jalan yang dipraktekkan sampai sekarang oleh para penulis hadits dari kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah. Jalan ini terbatas dan tidak dapat memenuhi ketidakterbatasan kebutuhan, karena lebih dari enam ribu ayat dalam Al-Quran menghadapi beratus-ratus ribu pertanyaan ilmiah ataupun non¬ilmiah. Dari manakah kita menemukan jawaban untuk pertanyaan¬pertanyaan ini, dan bagaimana menghindarinya? Apakah kita akan mencarinya dalam riwayat-riwayat dan hadits-hadits? Dalam hal ini, jumlah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah kurang dari dua ratus lima puluh hadits. Dan banyak dari hadits¬hadits ini lemah sanad-nya dan sebagiannya tertolak (munkar). Dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kalangan Syi'ah mencapai beberapa ribu hadits. Di antaranya ada sejumlah besar hadits yang andal (shahih). Meskipun demikian, hadits-hadits sebanyak itu tidak mencukupi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terbatas tentang ayat-ayat Al-Quran. Di samping itu, ada ayat-ayat yang tidak ada satu hadits pun yang menjelaskan ayat-ayat itu, baik yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah. Menghadapi masalah ini, kita bisa merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran yang sesuai dengan ayat yang ingin kita tafsirkan. Hal ini tidak dilarang. Mungkin kita menolak untuk membahas ayat itu dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan ilmiah yang menuntut kita untuk melakukan pembahasan. Jika demikian, apakah yang akan kita perbuat dengan ayat-ayat berikut yang menganjurkan pengkajian, perenungan dan pembahasan? "Kami telah menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelas¬kan segala sesuatu." (QS 16:89) "Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran?" (QS 4:82) , "Sebuah kitab yang penuh berkah yang telah Kami turunkan kepadamu agar mereka merenungkan ayat-ayatnya, dan orang¬orang yang berakal menjadi sadar." (QS 38:39) "Tidakkah mereka merenungkan Al-Quran, ataukah telah datang kepada mereka sesuatu yang tidak datang kepada nenek moyang mereka?" (QS 23:68) Dalam beberapa hadits sahih kita dianjurkan untuk kembali kepada Al¬-Quran ketika menghadapi masalah. Apakah yang harus kita per¬buat dengan hadits-hadits ini? Hadits-hadits Nabi, pada umumnya, dan khususnya hadits-hadits mutawatir Nabi dan para Imam Ahlul Bait, telah menetapkan suatu kewajiban untuk merujukkan hadits-hadits kepada Al-Quran. Yang sesuai dengan AI-Quran, dapat diikuti dan yang tidak sesuai, dibuang. Kandungan hadits-hadits ini dipandang benar jika maksud dan pengertian (tafsir) ayat itu jelas. Apabila untuk mengetahui pengertian suatu ayat, kita harus merujuk kepada hadits, maka tidak ada ruang lagi untuk merujukkan hadits kepada Al-Quran. Hadits-hadits yang telah kami paparkan ini merupakan bukti paling kuat bahwa ayat-ayat Al-Quran itu seperti kata-kata berarti yang digunakan dalam pembicaraan. Ayat-ayat itu sendiri sudah me¬rupakan hujah jelas yang tidak memerlukan hadits-hadits untuk menerangkannya. Jadi menjadi jelas bahwa kewajiban seorang mufasir adalah memperhatikan hadits-hadits Nabi dan para Imam Ahlul Bait dalam menafsirkan Al-Quran, dan mengetahui metode mereka. Kemudian menafsirkan Al-Quran dengan metode Al-Quran dan Sunnah, mengambil hadits-hadits yang sesuai dengan Al-Quran, dan membuang yang tidak sesuai. Referensi: Mengungkap Rahasia Al-Quran Karya Allamah MH Thabathaba’i
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar